Tải Video Lemon8

Cách dễ nhất để tải video Lemon8 và tải ảnh từ ứng dụng Lemon8

Pengorbanan Sepanjang Hayat Seorang Ibu kpd Anak

Pengorbanan Sepanjang Hayat Seorang Ibu kpd Anak

Máy tính: Nhấp chuột phải và chọn "Save link as..." để tải xuống.

PHOTOS
Pengorbanan Sepanjang Hayat Seorang Ibu kpd Anak JPEG Tải xuống

Ayah melakukan pe-le-ce-han terhadap pembantu!

Itulah yang selalu Ara tutupi dari Luna, adiknya. Hingga lelaki itu telah tua renta dan sering sakit-sakitan, ibu pun kembali mengusirnya akibat kelakuannya yang tidak pernah berubah. Ayah terlunta-lunta dan tinggal di ruang yang hanya sepetak, pengap, gelap, dan bersebelahan dengan kuburan. Dalam kesendiriannya, akankah lelaki tua itu bertemu Tuhan atau justru menjadikan ini sebagai sebuah kesempatan untuk kembali bermaksiat?

Alam bawah sadarnya menyeret ia ke penjara dan menyaksikan dirinya sendiri mati. Terbujur kaku dan telah dikafani, dikelilingi oleh banyak orang.

Surat di tahun 1980 menjawab semua pertanyaan.

Bab 10. Meninggalkan Ibu Sendiri

Semburat keemasan telah memancar dari ufuk timur. Ara yang tidak tega ingin membangunkan suaminya hanya bisa menatapnya lekat. Guratan lelah dan penat masih tersisa di wajah suaminya. Ara tak mampu membendung kesedihan. Air matanya meleleh lagi.

Tak berapa lama Adi membuka mata perlahan. Rasa kantuk yang masih bersarang membuatnya sulit terjaga dengan sempurna. Ia mengerjapkan mata sekali dan menyaksikan istrinya menangis, Adi langsung terduduk.

“Sayang, kamu kenapa? Tidak elok menyambut suami yang baru bangun tidur dengan mata penuh air begitu.”

Ara mengusap air matanya.

“Mata sebening dan seteduh telaga ini hanya pantas dimiliki oleh bidadari yang selalu berbahagia. Tidak ada kan bidadari di dalam syurga yang menangis?” Adi mencoba menggodanya. Sungguh, ia tak sanggup bila harus melihat istrinya menitikan air mata lagi untuk kesekian kali.

“Itu kan di syurga mas.” Ara mulai tersenyum.

“Iya dan bukankah kamu adalah syurganya mas?”

“Mas.”

“Ya.”

“Terima kasih ya. Semalam mas sudah menjaga ayah. Pasti sekarang mas masih ngantuk.”

“Sudah menjadi kewajiban mas untuk turut menjaga dan memastikan keadaan ayah.” Adi mulai menyadari ketiadaan putra mereka di dalam kamar.

“Kalya di mana?”

“Ada, lagi sama Luna. Ya sudah, mas mandi dulu, aku tunggu di ruang makan ya.”

“Iya, sayang.” Ara berjalan ke arah pintu. “Sayang, sudah bertemu ibu?”

“Sudah mas. Tadi ibu hanya sarapan dan kembali lagi ke kamar.”

Adi terdiam dan Ara melanjutkan langkahnya membuka pintu ke luar.

***

Seusai menghabiskan hidangan sarapan yang dimasak oleh Ara dan Luna hingga Luna menanyakan perihal ayah tentunya dan dijawab secara gamblang pula oleh Adi, Adi menyarankan agar mereka mengajak ngobrol sang ibunda.

“Sayang, kalau memang ibu masih butuh untuk ditemani, tidak apa-apa, sementara kamu dan Kalya di sini.”

“Iya Lun, mas juga berpikir begitu.”

Kakak dan adik yang duduk berhadapan itu saling pandang. Kalya yang dipangku sang mamah meraih-raih sebutir telur yang masih tersisa tiga di dalam mangkok. Ara menahannya.

***

Luna mengetuk pelan pintu kamar ibu. “Bu,” dipanggilnya ibu dengan lirih. Luna yakin, semalaman ibu pasti menghabiskan air matanya. Ia pun merasakan hal yang sama.

“Masuk.”

Luna memandang kakaknya yang menggendong Kalya, sementara di belakang mereka, para suami setia mengikuti.

Nampak ibu tengah duduk di tepian ranjang sambil menggenggam mukena. Matanya sembab dan kelopaknya seperti seukuran bola pingpong. Sajadah masih terhampar di hadapannya. Semua anak-anak menghampiri.

“Bu, ibu masih sedih?”

Ibu menggeleng lemah. “Tidak Lun.”

Di wajah ibu memang tidak ada bekas sisa air mata, tapi ciri-cirinya amat membekas. Apakah itu menunjukan jika ibu benar sudah ikhlas dan baik-baik saja? Ara sambil memangku sang putra yang menggigiti mainan yang tergenggam di tangannya serta Luna duduk di samping ibu.

“Bagaimana semalam Di?”

“Ayah sudah dapat tempat tinggal bu. Karena sudah malam, Adi sulit mencari tempat yang benar-benar layak. Kebanyakan di kota sudah terisi penuh.”

“Yang penting dia jauh dari sini. Kalau bisa bawa dan simpan sampai ke luar kota supaya ibu tidak lagi bertemu dengannya.” Ibu melempar pandangan lurus ke depan. Sorot matanya tajam penuh kebencian. Semacam ada luka besar yang menganga dan menusuk hingga ke dalam hatinya. “Ya, harusnya kamu melakukan itu semalam. Menaruhnya di tempat yang jauh dan sulit dijangkau oleh siapapun!”

Benar kan dugaan Ara, inilah yang diinginkan ibu.

Luna mengelus-elus punggung ibu. “Bu, jangan begitu. Kasihan ayah.”

Ibu menatap Luna dengan kening mengerut. “Kasihan?”

Luna terdiam dan dengan cepat menyadari kesalahan dalam ucapannya. Bukankah ibu yang berulang kali tersakiti dan menderita? Kenapa jadi ayah yang dikasihani?

Ibu kembali menatap ke depan. Nanar, tapi penuh kesakitan.

“Ara, Luna, siapapun! Jangan ada yang menjenguk ayah! Biarkan lelaki itu merasa sendirian dan tidak ada yang memperhatikan. Bukankah saudara-saudaranya pun sampai saat ini tidak ada yang peduli?”

“Bu, jangan terlalu seperti itu. Kasihan ayah bu.”

“Biarkan Ara! Biarkan ayahmu merasa sendirian dan kesepian! Jangan ada yang menjalin komunikasi dengannya. Kalau perlu nonaktifkan semua nomor yang selama ini kalian pakai. Ganti dengan yang baru. Supaya lelaki tidak tahu diri itu tidak bisa menghubungi kalian.”

“Sayang, bukan mas mau membela siapa atau siapa, tetapi mas rasa apa yang dikatakan ibu benar. Ayah harus belajar mengambil risiko dari kesalahan yang telah dilakukannya.”

Semua diam sejenak.

“Ibu bukan mau dengan sengaja menjauhkan kalian dengan ayah kalian. Tidak. Ibu hanya ingin agar dia merasakan apa yang ibu rasakan. Sakit.” Tiba-tiba bulir air ke luar dari sudut mata ibu, namun ia berusaha untuk tetap tegar.

“Bu,” Ara memegang lutut ibu dan sebelum permintaannya terlalu dalam dan lebih mengada-ada lagi hingga dapat mengubah keputusan ibu, ibu menggubris.

“Ibu serahkan semuanya Allah. Tapi yang jelas, ibu minta kepada kalian jangan pernah menghubungi atau bahkan menemui ayah kalian! Biarkan dia belajar dari semua kesalahannya. Mudah-mudahan dengan sendirinya ia, merasa kesepian, dan tak ada lagi yang memperhatikan, ia bisa sadar dan mau kembali ke jalan Allah. Harus ada yang membantu mengubah garIs hidupnya. Kalian tidak perlu khawatir, ibu yakin, ayah kalian juga tidak akan berani melakukan apa-apa yang dapat merugikan atau bahkan menjerumuskan dirinya sendiri di tempat asing. Bunuh diri apalagi. Untuk mengakui kesalahan saja dia tidak berani kok, apalagi untuk mengakhiri nyawa. Dia itu kan sebenarnya lelaki pengecut, makanya kenapa yang didekati adalah pembantu. Ya karena dia tidak mau mengambil risiko. Tidak mau bayar mahal, tapi takut juga kalau ketahuan! Makanya kenapa dia tidak jajannya di luar. Karena dia tahu, kalau di luar pasti bayarannya mahal!” Ibu menghela nafas. “Astaghfirullahal’adzim.”

Ibu memejamkan mata serapat-rapatnya sebentar. Menyadari omongannya melebar ke mana-mana. “Maafkan ibu. Ibu masih belum bisa mengontrol diri ibu jika membicarakan lagi lelaki tua itu. Ara, Luna, kalau kalian mau pulang, pulanglah. Ibu tidak apa-apa.”

“Tapi bu,”

“Ara, kasihan suamimu. Dia butuh istirahat dan ibu tidak mau kamu dan putramu berada di sini sementara imam kalian berada di tempat yang terpisah. Begitupun denganmu Luna. Kembalilah ke rumah kalian masing-masing. Kalian jangan risau. Insya Allah ibu baik-baik saja.”

“Bu, justru kami sangat mengkhawatirkan ibu.”

“Jangan cemas. Ibu tidak apa-apa, betul. Ibu hanya butuh waktu untuk sendiri dan lagi ibu sudah menelepon orang sini lainnya yang biasa bekerja dari rumah ke rumah. Dia tadinya TKW dan belum menikah, jadi dia bisa menginap sesekali di sini. Sudah, kalian pulang.”

Ara menatap suaminya yang dibalas dengan anggukan. Luna dan suaminya saling pandang.

“Tapi kalau butuh sesuatu atau perlu apa-apa, ibu kabari kami ya.”

“Iya Ridwan, pasti.”

“Kalau ibu ingin ditemani Luna atau Ara, ibu juga kasih tahu ya. Kami pasti ke sini.”

“Iya Lun.” Ibu memeluk kedua putrinya, kemudian mengecup pipi mereka secara bergantian. “Kalian memang anak-anak ibu yang baik. Ibu tidak tahu lagi, jika tidak ada kalian di samping ibu. Pasti akan sangat sulit bagi ibu untuk menjalani semua ini. Apalagi sama anak yang satu ini.” Ibu mencubit halus dagu Kalya, kemudian menghela nafas dalam. Ia menatap penuh retina cucunya. “Jaga rumah tangga kalian, jangan sampai dirusak hanya oleh kesenangan semu. Berkacalah pada rumah tangga ibu dan ayah, ya?” Ibu lalu memandang kedua menantunya. “Ibu titip putri-putri ibu ini kepada kalian.”

“Insya Allah bu. Adi akan menjaga dan melindungi Ara.

“Begitupun dengan Ridwan. Tidak mungkin Ridwan dan Adi bisa melangkah sejauh ini tanpa dorongan cinta yang kuat di hati kami untuk perempuan yang amat kami cintai. Lun, ayo!”

Luna menatap ibu dengan sedih.

Ibu tersenyum dan mengangguk. “Pulanglah nak!”

Luna mencium punggung tangan ibu diikuti Ara dan kedua menantunya. Mereka berpamitan.

Tinggalah ibu sendiri. Terkurung dalam penjara hati yang sepi dan terluka. Melalui kaca jendela besar yang ada di kamarnya, ia memandangi dua kendaraan yang terparkir di halaman depan yang sedang bergerak menjauh. Pergi.

Novel tamat Menjahit Luka

Penulis FauzanAdzima

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah:

https://read.kbm.id/book/detail/68941db5-efa9-f069-acfd-fd75a46218b9

Kota Cirebon #myonething #ApaCumaAku #Bersyukur #PengalamanBuruk #kbmapp #kbmauthor #novel #novelrekomendasi #novelromance #novels