Descargador de videos Lemon8

La forma más fácil de descargar videos y galerías desde la aplicación Lemon8

Cinta Terhalang Status

Cinta Terhalang Status

Escritorio: haga clic con el botón derecho y seleccione "Guardar enlace como..." para descargar.

PHOTOS
Cinta Terhalang Status JPEG Descargar
Cinta Terhalang Status JPEG Descargar

Bab 2

Mirna berjalan cepat meninggalkan lobi hotel, suara langkahnya bergema di sepanjang lorong sepi. Hatinya masih kacau setelah pertemuan tak terduga dengan Nino. Sudah bertahun-tahun sejak mereka terakhir bertemu, dan melihat wajahnya lagi membawa perasaan yang sudah lama ia coba kubur. Tapi ia harus tetap kuat. Nino sudah menjadi bintang besar, sementara dirinya hanya petugas kebersihan.

"Aku tidak boleh jatuh lagi," batinnya. Namun, perasaan itu sulit diabaikan. Setiap kenangan bersama Nino terus menghantui, seolah waktu berhenti saat mereka masih kecil.

Dulu Mirna dan Nino adalah dua sahabat yang tak terpisahkan. Mereka sering bermain di tepi sungai, duduk di bawah pohon rindang sambil berbicara tentang mimpi-mimpi besar.

Nino selalu bilang, "Aku ingin jadi penyanyi terkenal. Kalau aku sukses nanti, aku akan kembali dan kita akan selalu bersama." Mirna tertawa setiap kali mendengar janji itu, tapi dalam hatinya, ia selalu percaya pada kata-kata Nino.

Namun, hidup tidak berjalan sesuai rencana. Setelah lulus SMA, keluarga Mirna mengalami kesulitan ekonomi, dan ia terpaksa meninggalkan kampung untuk mencari pekerjaan di kota. Ia tidak pernah sempat mengucapkan selamat tinggal pada Nino. Sejak itu, mereka terpisah. Mirna memutuskan untuk tidak lagi menghubungi Nino, merasa malu dengan keadaannya sendiri.

Sekarang, melihat Nino lagi, semua perasaan itu kembali—rasa rindu, namun juga ketakutan. "Aku tidak pantas berada di sisinya," pikirnya. Nino sudah terlalu jauh untuk ia gapai.

🍁🍁🍁

Di sisi lain, Nino tak bisa berhenti memikirkan Mirna setelah pertemuan itu. Ia merasa ada yang aneh dengan sikap Mirna. “Kenapa dia berpura-pura tidak mengenaliku?” gumamnya sambil duduk di kamar hotel mewah yang sudah disiapkan untuknya.

Ingatan tentang masa kecil mereka muncul kembali. Wajah Mirna saat itu begitu ceria, penuh semangat, dan selalu mendukungnya. "Dia adalah orang yang selalu percaya padaku ketika yang lain tidak." Namun kini, Mirna yang ia temui adalah sosok yang dingin sengaja memberi jarak. Ada sesuatu yang disembunyikan Mirna, dan Nino berniat untuk mencari tahu apa itu.

Pagi harinya, Nino berjalan menyusuri lobi hotel, berharap bisa melihat Mirna lagi. Namun, ia tidak menemukannya. "Aku tidak bisa membiarkannya menghilang begitu saja," batinnya. Nino kemudian memutuskan untuk menanyakan langsung kepada staf hotel tentang Mirna. Ia berharap bisa menemukan cara untuk berbicara dengan Mirna, bahkan jika itu berarti harus menyusup ke bagian karyawan.

Setelah mendapatkan sedikit informasi dari salah satu staf, Nino mulai menyusun rencana. Ia tahu Mirna tidak akan dengan mudah terbuka padanya. Namun, ia juga yakin bahwa perasaan lama mereka belum sepenuhnya hilang. "Aku harus menunjukkan padanya bahwa aku masih peduli," pikir Nino.

Sambil memandangi foto masa kecil mereka yang ia simpan di ponsel, Nino menggenggam erat tekadnya. Ia akan melakukan apa pun untuk bisa mendekati Mirna kembali. Mungkin, ia bisa mencoba dengan cara yang lebih halus—datang ke tempat-tempat yang sering Mirna kunjungi, atau membuat kejutan yang tidak akan ia duga.

Mirna akhirnya sampai di ruang istirahat karyawan, duduk di bangku kayu yang terletak di pojokan. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi perasaannya masih berkecamuk. Setiap kali matanya terpejam, wajah Nino kembali muncul—wajah yang dulu selalu membuatnya merasa nyaman, kini malah membuatnya gelisah.

“Kenapa harus sekarang?” bisiknya pelan, merasa dunia mempermainkannya. Selama ini, ia telah bekerja keras untuk melupakan Nino, membangun tembok tebal di sekeliling hatinya. Namun, dengan sekali pandang, semua pertahanannya runtuh. Hanya dengan melihatnya, semua kenangan dan harapan yang dulu ia simpan rapat-rapat mulai menyeruak kembali.

Tiba-tiba, pintu ruang istirahat terbuka. Sarah, teman kerjanya, masuk dengan wajah ceria seperti biasa. “Eh, Mir! Ada apa? Kamu kelihatan aneh. Pucat banget,” tanya Sarah sambil duduk di sampingnya.

Mirna tersentak. “Ah, nggak apa-apa, cuma capek aja. Tadi shift paginya agak berat.”

“Tapi kayaknya kamu nggak cuma capek, deh. Jangan-jangan ada hubungannya sama tamu hotel yang baru datang tadi, ya? Tadi aku denger-denger ada penyanyi terkenal nginep di sini. Siapa, ya namanya? Nino, kalau nggak salah?”

Jantung Mirna berdegup kencang saat nama itu disebut. Ia berpura-pura sibuk dengan teleponnya untuk menghindari tatapan Sarah, berusaha sekuat tenaga menahan emosinya yang mulai memuncak. “Ah, mungkin aja,” jawabnya singkat, berharap percakapan segera berakhir.

Tapi Sarah bukan tipe orang yang mudah menyerah. “Eh, kamu tau nggak sih? Dia itu keren banget! Kalau aku ketemu dia, mungkin aku bakal langsung pingsan!” canda Sarah sambil tertawa, namun tawanya tidak mendapat balasan dari Mirna.

Mirna hanya tersenyum tipis, lalu bangkit. “Aku harus balik kerja dulu, Sar. Banyak yang harus diberesin.”

Sarah hanya mengangguk, membiarkan Mirna pergi. Tapi sebelum Mirna sempat keluar, Sarah menambahkan, “Kamu beneran nggak kenapa-kenapa, kan, Mir? Kalau ada masalah, cerita aja.”

Mirna berhenti sejenak di ambang pintu, merasakan beratnya kata-kata Sarah yang sederhana namun penuh perhatian. Tapi masalahnya bukan sesuatu yang bisa ia ceritakan begitu saja. “Aku baik-baik aja. Makasih, Sar,” ucapnya singkat sebelum melangkah pergi.

Di tempat lain, Nino masih duduk di kamarnya, memikirkan langkah apa yang harus ia ambil. Kepalanya dipenuhi oleh bayangan Mirna dan bagaimana ia berpura-pura tidak mengenalinya. “Aku harus bicara dengannya,” gumamnya. Ia tak ingin ada kesalahpahaman di antara mereka. Lebih dari itu, ia tidak ingin kehilangan Mirna lagi.

Sore itu, Nino memutuskan untuk keluar dari hotel. Ia meminta seorang staf hotel mengantarnya ke tempat biasa karyawan hotel berkumpul. “Mungkin aku bisa bertemu Mirna di sana,” pikirnya. Ia merasa sedikit gelisah. Selama bertahun-tahun, banyak yang berubah dalam hidupnya, tetapi perasaan tentang Mirna tetap sama.

Ketika sampai di area belakang hotel, Nino turun dari mobil dengan hati-hati. Matanya mengamati sekeliling, berharap menemukan sosok Mirna di antara karyawan lain yang sedang beristirahat. Namun, bayangannya tak ada di sana. Ia menghela napas panjang. “Aku harus sabar,” pikirnya.

Tapi langkah Nino tak terhenti di situ. Ia memutuskan untuk menyusuri lorong belakang hotel yang biasa dilewati karyawan. Perasaannya campur aduk—antara harapan untuk bertemu Mirna dan rasa takut bahwa Mirna benar-benar tidak ingin bertemu dengannya. "Kalau dia menolakku lagi... aku harus bagaimana?" batinnya.

Di sudut lorong itu, akhirnya ia melihatnya. Mirna berdiri sendirian, memandangi langit yang mulai memerah di ufuk barat. Ada sesuatu yang begitu sendu dalam tatapannya. Nino ingin segera menghampirinya, namun kakinya terasa berat.

“Mirna…” suara Nino terdengar pelan tapi jelas. Mirna terkejut, menoleh dengan cepat, dan melihat sosok Nino berdiri hanya beberapa meter darinya.

“Kamu… kenapa kamu di sini?” tanya Mirna, suaranya bergetar, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.

Nino mendekat, matanya tak lepas dari wajah Mirna yang tampak berbeda—lebih dewasa, lebih penuh beban daripada yang ia ingat. “Aku harus bicara denganmu,” jawabnya singkat.

“Tapi kita nggak ada urusan apa-apa lagi, Nino. Kamu... kamu bukan Nino yang kukenal. Kamu punya dunia kamu sendiri, dan aku... aku cuma...”

“Aku nggak peduli soal itu, Mir,” potong Nino dengan nada tegas namun lembut. “Kamu tahu betapa pentingnya kamu buatku. Kita punya banyak kenangan bersama, dan aku nggak bisa pura-pura lupa soal itu. Aku masih ingat semuanya.”

Mirna menunduk, menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. “Semua itu sudah berlalu. Aku bukan Mirna yang dulu, dan kamu juga bukan Nino yang dulu.”

Nino menarik napas panjang, merasa sulit menerima kenyataan itu. Tapi ia tahu bahwa yang diucapkan Mirna ada benarnya. “Mungkin memang banyak yang berubah. Tapi satu hal yang nggak pernah berubah adalah perasaanku ke kamu,” ucap Nino pelan, penuh kesungguhan.

Mirna terpaku, hatinya bergemuruh mendengar kata-kata Nino. Ia tahu bahwa hatinya juga masih menyimpan rasa yang sama, namun perbedaan antara mereka kini terasa begitu besar. Bagaimana ia bisa berdiri sejajar dengan Nino yang kini telah menjadi bintang besar?

“Sudahlah, Nino. Jangan buat ini semakin sulit,” bisik Mirna. Ia berbalik, hendak pergi.

Tapi sebelum Mirna sempat melangkah lebih jauh, Nino menggenggam pergelangan tangannya, menahannya. “Aku nggak akan biarkan kamu pergi lagi, Mirna,” ujarnya tegas.

Mirna membeku. Tangannya terasa hangat dalam genggaman Nino, membuat hatinya semakin kacau. Apakah ia harus menyerah pada perasaan yang selama ini ia coba hindari, atau tetap bertahan dengan keputusan yang dianggap benar?

Bersambung

Judul: Cinta Terhalang Status

penulis: Aksara Sulastri

baca di KBMApp #TakPerluSempurna #allah #fyp

Pemalang, Oktober 2024