Lemon8 Video Downloader

The easiest way to download video and gallery from Lemon8 app

TERGODA IPAR

TERGODA IPAR

Desktop: Right-Click and select "Save link as..." to download.

VIDEO
MP4 Original Video Download
PHOTOS
TERGODA IPAR JPEG Download

(1)

“Ahh .. maaf Mbak, aku tidak tau kalo Mbak lagi m4ndi!” pekiknya.

Aku terpaku di tempat, dimana Adik Iparku itu masuk, saat aku sedang t4npa bus-4na di dalamnya.

__________

Aku melamun di dalam kamar, tadi sore adalah kejadian yang sangat memalukan. Adik iparku tak sengaja masuk ke dalam kamar m4ndi, saat diriku berada di dalamnya.

Firman adalah adiknya Mas Hendra--suamiku. Usianya memang lebih tua di atasku. Sebab aku menikah dengan pria dewasa yang 7 tahun lebih tua dariku. Firman dan Mas Hendra hanya berjarak satu tahun saja. Namun, Firman dengan sopan memanggilku dengan sebutan Mbak Winda. Winda--namaku.

Aku mengg1-git b1-bir merasa malu, mengapa aku sebo-doh ini, seingatku pintunya ku kunci. Atau memang aku yang cer0boh sampai lupa mengunci pintu. Semoga saja Firman tidak berpikir aku sengaja ingin meng-g0d4nya.

Sudah sebulan Firman tinggal di rumah kami, rumah kecil yang hanya memiliki satu kamar mandi letaknya berada di dekat dapur. Semenjak Firman di mutasi dari pekerjaan lamanya dan pindah di dekat rumahku. Mas Hendra menyarankan adiknya itu untuk tinggal bersama kami.

Awalnya aku menolak, apalagi Mas Hendra sering pulang larut malam. Itu artinya aku akan lebih banyak mengh4biskan waktu berdua bersama adiknya itu di rumah. Aku sedikit merasa risih meskipun Firman tidak pernah macam-macam.

Dan akhirnya semua ini terjadi. Aku merasa canggung dan tak ingin keluar kamar. Namun, perutku ini tak bisa di ajak kompromi, terus saja terus berbunyi.

Kulihat jam di dinding menunjukkan pukul 7 malam. Itu artinya aku sudah dua jam berada di dalam kamar.

Krukuk krukuk.

"Ahh... Perutku terasa p3rih." gumamku sambil menekan perut.

BRUM BRUM!

Senyum terbit di wajahku saat kudengar suara mobil mendekat di halaman rumah. Itu adalah suamiku yang pulang dari kantor.

Syukurlah Mas Hendra sudah pulang, itu artinya aku tidak sendiri. Ah maksudku aku tidak harus berduaan dengan adiknya.

Aku bergegas merapihkan pakaianku lalu menyambut kedatangannya.

Mas Hendra tersenyum melihatku, kemudian meng3-cup sekilas keningku. Ah rasanya sungguh menenangkan. Kami menikah selama 4 tahun dan belum juga di karuniai anak. Kami sudah melakukan berbagai cara, tapi tak kunjung membuahkan hasil.

Namun, kami tetap bersabar dan berusaha.

"Kamu masak apa, Win?" Mas Hendra menatapku saat tiba di kamar. Dia langsung melepaskan kemeja kerjanya.

"Aku masak kesukaanmu, Mas."

"Hmm ... baiklah, tolong hangatkan kembali, aku mau m4ndi dulu sebentar."

Aku mengangguk.

"Oh iya, dimana Firman? Apa dia sudah pulang?" tanya Mas Hendra.

"Fi--firman sudah pulang sejak sore tadi. Dan mu--mungkin saat ini dia sedang berada di kamarnya."

"Apa dia sudah makan?"

"Aku tidak tau, aku belum menawarinya."

"Baiklah, kau siapkan saja semuanya. Lalu panggil dia dan suruh kita makan bersama. Aku akan menyusul setelah m4ndi," sahut Mas Herman.

Aku berlalu dari sana, menyiapkan makan malam, setelah itu hendak menemui Firman di kamarnya, yang bersebelahan dengan kamarku.

Aku berdiri di depan pintu kamarnya yang tertutup, sedikit merasa canggung untuk menemuinya. Tapi, jika tidak kulakukan Mas Hendra akan marah, dia pasti akan mengira aku tidak perduli dengan adiknya yang menumpang di rumah kami.

Aku masih berdiam di tempat, tanganku mengatung di udara. Sibuk menimbang, antara mengetuk atau tidak?

Namun, saat sedang dalam kebimbangan. Derit pintu malah terbuka menampakkan Firman yang hendak keluar dari sana. Gegas aku menarik kembali tanganku.

"A--aku ... Ak--aku ...." Aku merasa gugup luar biasa. Apalagi Firman seperti kebingungan melihatku berdiri di luar kamarnya.

"Ada apa, Mbak?"

"M-mas Hendra menyuruhku untuk memanggilmu, untuk makan malam bersama."

"Hem, baiklah." Firman tersenyum. Aku bergegas berbalik lalu berjalan dengan cepat meninggalkannya.

Kami bertiga makan malam bersama di meja makan, aku hanya diam sambil menunduk. enggan bersitatap dengan Firman. Sejak tadi aku hanya mengaduk-aduk makananku saja. Padahal sebelumnya sangat lapar.

Firman bersikap biasa saja, seperti tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Padahal aku sangat takut dia menjadi salah paham dan mengatakan yang tidak-tidak pada Mas Hendra.

Firman dan Mas Hendra makan dengan tenang sambil sesekali membahas soal pekerjaan mereka, yang tidak aku mengerti.

Sejenak hening. Hanya dentingan sendok dan piring yang terdengar. Sampai akhirnya ....

"Aku sudah kenyang." Mas Hendra membersihkan mvlutnya dengan tisu. Kemudian bangkit dari duduknya meninggalkan aku dan Firman di meja makan.

Aku bergegas berdiri, kemudian merapihkan piring, dengan gerakan yang terburu-buru.

SET!

Aku ters3ntak saat Firman menghentikanku dengan memegang tanganku.

"Mbak, aku belum selesai!"

"Oh, kau be--belum selesai?"

Firman mengangguk. Kemudian menatapku.

"Mbak, aku minta maaf soal tadi sore. Aku tidak bermaksud untuk mengin-t1pmu. Aku benar-benar tidak tau jika kau ada di dalamnya."

"Lupakan saja, dan jangan pernah membahas itu di depan siapa pun, apalagi di depan Mas Hendra!" sarkasku menatap Firman dengan lekat. Lelaki itu malah tersenyum. Membuatku langsung mengalihkan pandangan.

Melihat Firman menyelesaikan makan malamnya, aku segera merapihkan piring dan membawanya ke dapur.

Aku masuk ke dalam kamar, kulihat Mas Hendra masih berkutat dengan laptopnya. Dia terlihat sangat serius. Itulah Mas Hendra, jika berada di rumah dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama laptop dan pekerjaannya. Padahal sebagai seorang istri aku juga ingin di m4nja dan di perhatikan.

Aku berjalan mendekat ke arah sisi r4n-jang, di mana Mas Hendra tengah sibuk mengetik sesuatu. Aku naik dan mere-bahkan diri. Mas Hendra tak menyapaku sama sekali, dia masih saja sibuk.

Aku memiringkan badan kemudian memejamkan mata. Setengah jam kemudian, aku merasakan sebuah tangan kekar melingkar pada ping-gang rampingku.

Terdengar suara napasnya membvru, sepertinya dia akan meminta hak nya sebagai suami malam ini.

Pert3mpur4n itu pun terjadi. Lagi-lagi dia mencapai pelep4san sebelum aku.

Aku sedikit kecewa, padahal aku juga menginginkannya. Mas Hendra egois, hanya memikirkan dirinya saja. Setelah melepaskan n4f-sunya. Mas Hendra berbaring di sampingku, kemudian memejamkan mata tanpa memperdulikan perasaanku.

"Mas ... aku belum pu@s." Bisikku.

"Ah sudahlah! Besok malam saja." Lagi, kata itu lagi yang dia ucapkan jika aku bilang tentang yang aku rasakan.

Aku merasa kesal, kemudian turun dari ranjang memvnguti pakaianku satu persatu, kemudian memakainya.

Ah ... sebaiknya aku mandi, untuk mengurangi rasa panas dalam diriku karena sesuatu yang tak ters4lurkan.

Aku masuk ke kamar mandi, ku pastikan berkali-kali jika aku menguncinya. Jangan sampai kejadian tadi sore terulang kembali.

Setelah selesai mandi kuli-litkan handuk di kepala, dan juga tubvhku. Aku keluar perlahan. Aku terk3jut saat berpapasan dengan Firman.

"Fi--Firman, kamu belum tidur?"

Firman tertawa kecil sambil menggaruk kepalanya.

"Hehe, Aku tidak bisa tidur Mbak. Apa Mbak Winda punya mie instan? Aku lapar."

"Ada, sebentar ya mbak ambilkan."Aku sangat gvgup, kemudian berbalik berjalan ke arah dapur.

Aku yang masih mengenakan handuk sedikit kesulitan menggapai tempatku menyimpan mie instan.

"Kenapa, Mbak? Susah?"

Aku ters3ntak, kupikir Firman kembali ke kamarnya, ternyata dia mengikutiku dan kini berdiri di belakangku.

"I—iya, aku tidak sampai." lirihku.

Firman mendekat ke arahku berdiri sangat dekat di belakangku, Firman mengambil mie yang berada di atas sesuai instruksiku.

Setelah mendapatkannya Firman semakin mendekat, membuatku berpegangan pada sisi Rak. Firman mencondongkan wajahnya.

"Terimakasih Mbak Winda. Aroma shampo yang mbak pakai sangat harum. Aku suka." bisiknya di telingaku.

Glek!

Aku kesulitan men3lan ludah. Firman mundur menjauh, aku segera berbalik dan berjalan dengan cepat menuju kamar.

Setelah selesai berpakaian aku segera berba-ring di sebelah Mas Hendra yang sudah terlelap. Aku berguling kesana kemari, tapi tak kunjung tertidur.

Mas Hendra yang telah lama tertidur menggeliat, kemudian menepuk lenganku.

"Win, aku haus. Tolong ambilkan minum." pintanya.

Aku menghembuskan napas perlahan. Kemudian turun dari r4n-jang menuju dapur. Menuangkan air ke dalam gelas dan membawanya ke kamar. Namun, saat melewati kamar Firman. Aku menautkan alis mendengar suara seseorang yang sedang men de s*h. Aku penasaran, kudekatkan telingaku pada daun pintu kamar Firman, dan benar saja suara aneh itu berasal dari kamarnya.

(2)

Aku men3lan ludah, kemudian mengatur napasku. Aku menautkan alis saat suara itu tidak terdengar lagi. Ku dekatkan telingaku kembali menempel pada pintu. Dan ...

KREK!

Pintu terbuka, aku terk3j✓t bukan main.

"M--Mbak Winda, ngapain disini?" ujar Firman dengan wajah yang panik.

"Em, a--aku ... aku ...." Aku tak kalah panik dari Firman.

"Mbak ngapain? Ko gugup gitu, jangan bilang mbak mau ngintip aku?" tanyanya sambil menaik-turunkan alis seakan menyudutkanku.

Aneh, harusnya dia malu karena terpergok olehku.

"Tidak, tadi ... aku hanya mengambil air minum untuk Mas Hendra, dan tak sengaja malah mendengar ... mendengar—"

"Oh itu ... Mbak jangan salah paham. Tadi temanku iseng mengirimkan sepenggal video film bl✓e, aku juga kaget, makanya langsung aku matikan dan tak sengaja malah bertemu Mbak Winda,"

"Oh begitu." wajahku berubah sendu, ternyata pikiranku salah.

"Kenapa? Kok, wajah Mbak Winda murung begitu, kecewa ya, karena ternyata bukan aku? Apa Mbak Winda ingin aku melakukannya? Hem." tanyanya menelisik wajahku.

Mendadak pipiku terasa mem4nas, apa wajahku menampakkan kekecewaan? Kurasa tidak, aku hanya tak enak hati, karena telah menvduhnya secara tidak langsung.

"Mbak! Malah bengong,"

Aku gelagapan, kemudian menggeleng. "Tidak, ma--maaf, aku harus masuk ke kamar, Mas Hendra pasti telah menungguku."

Aku segera masuk ke dalam kamar dengan cepat. Kemudian menghembuskan napas kasar setelah tiba di dalamnya.

Air di dalam gelas yang ku pegang sisa setengah air itu tumpah sedikit demi sedikit saat aku berjalan dengan tergesa tadi.

"Win, kamu kenapa? Ko wajahmu teg4ng begitu?"

"Em, tidak Mas. Tadi aku ... aku melihat kecoak. Kamu kan tau, aku t4kut."

"Oh begitu, ya sudah kemarikan airnya."

Aku berjalan menghampiri Mas Hendra kemudian menyerahkan gelas yang kupegang. Setelah menghabiskan air di dalam gelas yang memang sedikit, Mas Hendra langsung menyerahkannya padaku, dan berbaring kembali.

Setelah menaruh gelas di atas nakas, aku naik ke atas r4n--jang kemudian merebahkan diri. Aku sungguh merasa lelah dengan kejadian akhir-akhir ini. Mungkin karena terlalu lelah akhirnya aku tertidur juga.

***

Pagi hari kami sarapan bersama, ada Firman yang ikut sarapan bersama kami di meja makan. Pagi ini mas Hendra dan juga Firman akan berangkat kerja bersama.

Aku mengoleskan selai pada roti untuk sarapan di atas meja.

"Mas kau mau selai apa? coklat, strawberry, atau kacang?"

"Apa saja, asal jangan kacang. Aku alergi."

"Baiklah." Aku segera mengoleskan selai strawberry pada roti milik Mas Hendra.

"Win, kau tidak menawari Firman?" Aku melirik ke arah Firman, dia berdiam diri sambil memperhatikanku sejak tadi. Aku mengvlum bi-bir kemudian menvnduk, sembari menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Aku masih canggung pada Firman semenjak kejadian kemarin dan semalam.

"Kau mau selai apa, Firman? Aku tidak tahu apa yang kau suka dan tidak suka?"

Aku memang tidak tau banyak tentang adiknya Mas Hendra, selama menikah kami hanya bertemu di acara-acara tertentu saja, tidak seperti sekarang yang setiap hari bertemu.

Firman tersenyum, "tidak perlu repot-repot Mbak, aku akan mengoleskannya sendiri nanti. Buatkan saja dulu untuk Mas Hendra."

Pandanganku kembali pada Mas Hendra, dia terlihat sibuk dengan ponselnya. Kemudian tak berselang lama ponsel Mas Hendra berdering. Menandakan ada seseorang yang menelponnya. Dia mengangkat telpon itu, kemudian bangun dari duduknya dan menjauh dari meja makan.

Aku masih duduk satu meja dengan Firman, kami makan roti selai dengan dengan canggung. Aku bangun dari kursi dan menuang susu ke dalam gelas. Gerakan tanganku yang terb✓ru-buru membuatku tak sengaja menumpahkan airnya dan mengenai cel4na Firman.

"Astaga." pekik Firman.

Aku terk3-jut kemudian mengambil tisu beberapa helai dan mulai membersihkan cel4na Firman yang terkena tumpahan

"Ah maaf, aku tidak sengaja."

Aku j0ngkok sambil membersihkan p4-hanya. Mengel4pnya, tumpahan s✓su itu sedikit meng0-tori celana Firman.

"Sudah Mbak tidak apa-apa, hanya tvmpah sedikit."

"Tidak-tidak, ini salahku biarkan aku membersihkannya."

Aku terus membersihkannya menggunakan tisu, dan tanganku tak sengaja meny3nt✓h bend4 ker4s. "Emm, bes4r sekali," gumamku tanpa sadar.

Glek! Aku lekas tersadar saat ada yang tidak beres. Diriku lekas berdiri dan meminta maaf.

"Ma—maaf Firman, aku... Aku tak bermaksud untuk berbuat m3*sum."

Aku segera bangun kemudian meng3lap t✓mpahan susu di meja, wajahku mungkin saat ini telah merah karena menahan malu.

Mas Hendra datang menghampiri kami. "Ada apa ini? Sejak tadi kudengar kalian sedang merib✓tkan sesuatu."

"Tidak ada, Kak, tadi Mbak Winda tak sengaja men✓mpahkan s✓su dan mengenai celanaku. Aku tidak apa-apa, tapi Mbak Winda terus meminta maaf."

"Benar begitu?" tanya Mas Hendra menatapku. Aku mengangguk cepat.

"Ya sudah aku pergi dulu."

"Baiklah, aku juga akan mengganti celanaku, setelah itu baru pergi juga."

Aku menautkan alis saat mendengar Firman akan mengg4nti celan4nya. Lalu untuk apa aku membersihkannya tadi.

Aku menatap punggung Firman yang berjalan menjauh, dan kemudian langkah nya terhenti, dia berbalik. Lalu meng3dipkan sebelah matanya padaku. Setelah itu dia masuk ke dalam kamarnya.

Jantungku langsung berde-gup kencang. Aku mengatur napasku. Ada apa dengan Firman? Mengapa sikapnya aneh akhir-akhir ini?

***

Aku mengantar Mas Hendra sampai ke teras, melambaikan tangan saat mobil itu perlahan menjauh. Setelah tak terlihat, aku kembali masuk ke dalam.

Namun, saat hendak masuk ke dalam kamarku aku tak sengaja berp4pasan dengan Firman. Aku merasa cang-gung, atas kejadian kemarin dan hari ini. Namun, lagi-lagi kesi4lan datang padaku aku hampir terpel3-set, untung saja Firman dengan siaga langsung menangkapku.

Aku tak jadi terjatuh, aku menatap wajah Firman dari bawah, pandangan kami beradu. Dari bawah dapat kulihat betapa tampannya pesona adik iparku. Jak✓n Firman berger4k naik turun, membuat pikiranku melayang.

Firman memb3-lai wajahku dengan lembut.

Glek!

Aku menel4n l✓dah, tersadar dari apa yang sedang terjadi, aku menekan lengan Firman mencoba untuk berdiri. Firman membantuku.

“Terima kasih.” ujarku.

Firman tersenyum, kemudian mengangguk,“Sama-sama, Mbak. Lain kali hati-hati,”

“Hemm, ya.” aku mengangguk cepat. Kemudian langsung berjalan cepat masuk ke dalam kamarku.

Aku segera meng✓nci pintu, dan berdiri di belakangnya.

Deg Deg Deg!

Dapat kurasakan jantungku terus berdeg✓p kencang. Perasaan macam apa ini? Aku segera menggelengkan kepala, jangan sampai Firman berani macam-macam padaku.

***

Hari ini aku pergi ke rumah sakit untuk mengambil hasil pemeriksaan kami tempo lalu. Aku dan Mas Hendra memeriksakan diri kami pada SpOG. Mengapa kami belum juga mendapatkan ket✓runan.

Aku menunggu di luar ruangan, menunggu dokter memanggilku. Setelah bertemu Dokter dan mendapatkan hasilnya aku pulang ke rumah.

Jantungku berd3bar-debar, kiranya siapa diantara kami yang bermas4lah. Tidak mungkin jika semuanya baik-baik saja aku tak kunjung ha-mil.

Aku menutup kamarku, kemudian berjalan ke arah r4n-jang, aku duduk dan segera mengambil surat dari rumah sakit dalam tasku. Kemudian mulai membukanya perlahan. Jantungku semakin berdeg✓p tak karuan. Perlahan aku membaca dengan seksama setiap kata. Hasilnya sangat mengej✓tkanku.

Aku membekap m✓lut tak percaya. Di keterangan tertulis bahwa Mas Hendra tidak bisa mempunyai ket✓runan, itu artinya dia ... mand-ul.

(3)

Aku menggeleng ku4t. "Tidak, tidak. Mas Hendra tidak boleh tahu tentang ini. Jika dia tahu, dia pasti akan sedih."

Aku segera menyemb✓nyikan kertas itu di dalam lemari, lalu menyimpannya rapat-rapat.

Banyak orang-orang diluar sana yang diagnosa man-dul, tapi tetap bisa punya anak. Kataku, meyakinkan diri sendiri.

Setelah menenangkan pikiran, aku segera pergi ke dapur, memasak untuk makan malam Mas Hendra dan juga Firman.

Saat sedang masak, pikiranku melambung pada kertas diagnosa Mas Hendra yang tidak bisa memiliki ketu✓runan. Entah sampai kapan aku akan menyembunyikannya. Yang jelas aku tidak ingin Mas Hendra merasa sedih.

Sebenarnya aku juga sama seperti wanita yang lain, ingin memiliki anak apalagi usia pernikahanku sudah terbilang cukup lama. 4 tahun bukanlah waktu yang sebentar. meskipun terkadang Mas Hendra selalu menyalahkanku atas masalah ini.

Aku menautkan alis saat menci✓m aroma sesuatu yang terb4kar ... dan, astaga! Aku terkejut saat melihat masakanku sudah menjadi hitam.

"Ah ... gosong!" gumamku lirih. Ini pasti karena aku yang terus melamun sejak tadi, tidak fokus pada masakanku.

Aku segera membuang makanan yang telah gosong. Kemudian membuatnya dengan yang baru. Lagi-lagi pikiranku terus melambung pada kertas diagn0sa rumah sakit, sehingga membuatku benar-benar tidak fokus.

Malam ini Mas Hendra pulang lebih cepat, dan firman belum pulang, hingga kami menjelang makan malam. Di meja makan hanya ada aku dan Mas Hendra saja.

Aku menyiapkan makan malam Mas Hendra dengan senyum yang dipaksakan.

"Kemana saja kamu hari ini, Win?" Seperti biasa, Mas Hendra selalu menanyakan apa saja aktivitasku di rumah. Gerakan tanganku yang semula sibuk menyiapkan makanan terhenti. Kemudian menetap Mas Hendra dengan ragu-ragu.

"Aku ... aku siang tadi ke rumah sakit untuk mengambil, hasil pemeriksaan kita tempo lalu."

"Lalu apa hasilnya? Pasti kamu kan yang bermasalah! Di keluargaku itu semuanya subur-svbur bahkan bibiku saja punya anak lebih dari lima."

Aku mengembuskan napas perlahan.

"Tidak ada yang bermasalah, Mas, semuanya baik-baik saja. Mungkin memang kita yang harus berusaha lebih keras lagi."

Cih! Terdengar suara Mas Hendra berd3cih.

"Sepertinya rumah sakit itu yang salah. Nanti jika aku ada waktu, periksa lagi ke rumah sakit yang lebih bagus."

Aku mengangguk samar.

Aku menggi-git bibir saat melihat Mas Hendra mulai menyiapkan makanan ke mulvtnya. Dia mengunyahnya perlahan kemudian terdiam.

HOEK!

"Makanan macam apa ini Winda! kenapa rasanya macam k o t o - r a n?! Kamu ini nggak bec✓s banget jadi istri."

"Ma—masa sih, Mas?"

"Coba saja, kalo kamu nggak percaya!"

Dengan tangan bergetar aku mengambil sedikit makanan itu kemudian memasukkannya dalam mulutku.

Aku langsung meng3rnyit, sepertinya aku terlalu banyak menaruh garam pada masakanku. Ini pasti karena tadi siang aku terus saja melamun.

"A--asin."

"Tidak enak kan? Tau kan kesalahan kamu dimana? Lain kali dicoba, jangan makanan tidak enak seperti ini kamu berikan pada suami!"

"Ma--maaf, Mas. Kalo begitu biar aku masakin lagi ya."

"Tidak perlu! Nafs✓ makanku sudah hilang."

BRAK!

Mas Hendra menggebrak meja membuatku tersentak.

Aku menatap punggung Mas Hendra yang berjalan penuh emosi, dengan mata yang mengembun.

Kemudian melihat ke arah makanan yang kubuat.

"Makanannya memang asin, tapi masih bisa dinikm4ti, setidaknya Mas Hendra, bisa bicara baik-baik padaku."

Air mataku menetes, sembari bergumam sendiri.

Tak berselang lama terdengar suara dari luar. Aku segera menghapus air mataku. Kemudian mulai merapikan piring.

"Selamat malam Mbak Winda." Firman mendekat ke arahku.

"Wah sedang makan malam rupanya, kebetulan aku sudah lapar." Firman duduk di kursi, kemudian mengambil piring. Aku mencegahnya.

"Jangan Firman, masakan ini tidak enak. Nanti Mbak masakin lagi ya, kamu bisa tunggu sebentar."

"Nggak usah, Mbak, aku bisa makan yang ini. Lagi pula Mbak Winda kan sudah berkerja keras membuatnya, pasti capek."

Firman tak mendengarkan ucapanku, dia mulai mengambil makanan buatanku kemudian memasukkannya pada mulutnya.

Aku meri-ngis, apa yang akan dikatakan Firman setelah ini.

Firman menyendok kembali, kemudian melahapnya lagi.

"Bukankah rasanya tidak enak? Mas Hendra saja tidak mau memakannya." lirihku.

"Sedikit asin Mbak, tapi masih bisa dimakan. Kalau di buang kan mbazir. Biar Firman yang makan," ucapnya kemudian lanjut dengan suapan berikutnya sampai habis.

Aku tersenyum samar. Firman ternyata lebih bisa menghargai seseorang daripada suamiku.

***

Tengah malam, aku terbangun saat mendengar suara seseorang yang sedang merin--tih.

Aku melirik ke sebelah r4njang, tidak ada Mas Hendra di sampingku. Aku teringat, Mas Hendra pergi saat aku masuk ke dalam kamar selesai makan malam, dan sampai saat ini dia tak kunjung pulang.

Suara rin--tihan itu terdengar kembali. Aku segera turun dari r4njang dan mencari sumber suara. Saat berpapasan dengan Firman sambil memegangi perutnya.

"Firman—" sapaku. Firman malah berbalik dan berlari ke arah kamar mandi.

"Tunggu sebentar Mbak!" teriaknya.

Kemudian terdengar suara air yg mengalir. Karena penasaran, aku memilih menunggu Firman di ruang tengah. Tempat biasa aku menonton televisi.

Firman menghampiriku dengan wajah sedikit p✓cat. Lalu duduk di sebelahku.

"Akhh!" des4hnya.

Aku melirik ke arahnya. "Firman kamu—" belum sempat melanjutkan ucapanku Firman menjawabnya lebih dulu.

"Diare Mbak! Tapi gakpapa mencret dikit gak ngaruh." ucapnya.

Aku sedikit merasa bersalah. "Ini pasti karena kamu makan makanan Mbak tadi, Mbak kan udah bilang, kalo makanan itu lebih baik di bu—"

Sttt! Firman menempelkan jari telunjuknya pada bi-birku.

"Aku gakpapa kok, Mbak. Mbak gak usah khawatir," ucapnya kemudian tersenyum. Namun senyum itu pudar berganti menjadi meringis.

"Tuh kan, gakpapa bagaimana?! Tunggu sebentar ya, Mbak mau ngambil minyak tawon dulu."

"Loh kok minyak tawon Mbak? Nggak sekalian minyak urut?"

"Ah, maksud mbak ... minyak angin. Tunggu sebentar ya."

Aku segera mengambil minyak angin di kamarku, kemudian kembali menghampiri Firman di ruang tengah.

"Ber-baringlah." Aku menyuruh Firman ber-baring di sofa panjang. Dengan wajah yang masih meringis Firman menuruti apa kataku.

Setelah Firman ber-baring, aku mendekat. Kemudian membuka kaos yang dia kenakan. Firman menatapku dengan lekat. Tanpa ragu Aku mengoleskan minyak angin pada permukaan per✓tnya. Sedikit mengur✓tnya, agar bisa mengurangi rasa sakit.

Firman memejamkan mata seolah menikmati sen-tu-han tanganku pada per✓tnya. Aku terus melakukannya, sampai Firman berhenti meringis. Namun aku merasa aneh, saat ringisan itu malah berubah menjadi suara d e - s a h a n. Meskipun samar, tapi telingaku masih bisa mendengarnya.

"Mbak, bisa lebih sedikit di tekan lagi." pintanya.

Aku mengangguk. Kemudian mulai menekan lebih keras.

Firman memejamkan mata kembali saat jari lentik tuh mengel✓s-3lus perutnya.

"Ke bawahan dikit Mbak."

Aku mengangguk kembali. Kemudian mulai mengel✓s perut bagian bawahnya.

"Ke bawahan lagi Mbak."

"Minyaknya tambahin dikit lagi."

Lagi-lagi aku menurut, mengikuti setiap yang di katakan Firman. Namun tak lama kemudian gerakan tanganku terhenti, saat tak sengaja menyentuh suatu benda yang menegak keras.

“Shhh.... ahh!”

Aku melirik ke arah Firman yang ternyata sedang menatapku dengan tatapan sayu.

"Fi—Firman, K-kau?" Aku menjadi gu-gup.

"Maaf, Mbak. Aku tidak bisa menahannya." lirihnya.

Aku langsung menarik tanganku dari sana.

BRAK!

Pintu rumah terbuka menampakkan Mas Hendra di sana.

“Hei, sedang apa kalian?!” tukas Mas Hendra.

Aku terkej✓t bukan main. Jantungku berde-gup kencang.

_______________

Penulis : Rafasya

KBM App : Rafasya

Judul : TERGODA IPAR

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App ✅

#PasHamil #TakPerluSempurna #ApaKabarDunia #ApaCumaAku #Bersyukur #CommentChallenge #PengalamanBuruk #fyp #viral #viralfood