Tải Video Lemon8

Cách dễ nhất để tải video Lemon8 và tải ảnh từ ứng dụng Lemon8

SEBATAS PELARIAN (2)

SEBATAS PELARIAN (2)

Máy tính: Nhấp chuột phải và chọn "Save link as..." để tải xuống.

PHOTOS
SEBATAS PELARIAN (2) JPEG Tải xuống

Mas Haidar pulang setelah tiga hari di Batang. Wajahnya terlihat lelah. Entah apa yang dilakukan di sana, tapi selalu begitu. Energinya seolah sudah terkuras habis di rumah mantan kekasihnya.

Aku tidak tahu pasti apakah Mas Haidar menginap di rumah orang tua Mita atau di warung makan miliknya. Bertanya pun percuma, dia tidak akan pernah memberikan jawaban gamblang. Aku memang istrinya, tapi seolah tidak diperbolehkan untuk menyelami dunianya.

"Mas Hafiz minta laporan keu*ngan." Alih-alih menanyakan keadaanku, Mas Haidar justru memberi tau hal itu.

"Nanti aku kirim." Aku menjawab sembari menutup pintu, lalu segera bergegas membuatkan kopi.

Rumah makan lesehan yang dikelola Mas Haidar adalah milik keluarganya. Semuanya dalam pengawasan Mas Hafiz, kakak iparku. Dan setelah menjadi istri Mas Haidar, aku yang dipercaya mengurus keu*ngan rumah makan cabang di Magelang.

Mas Haidar mendengkur di sofa ruang tengah ketika aku menyuguhkan kopi. Dia bahkan tidak sempat untuk melepas kaus kaki. Selelah itukah? Apa acara seribu hari kematian Mita diurus seorang diri olehnya? Atau ….

Setelah melepas kaus kaki Mas Haidar, aku membiarkannya tertidur di sofa ruang tengah. Dia sudah dewasa, lebih tahu tempat mana yang nyaman untuk beristirahat. Mungkin saja, sofa itu lebih menarik dibanding kamar kami.

***

"Sudah dikirim ke Mas Hafiz?" tanya Mas Haidar ketika aku sedang memasak nasi goreng pada pagi harinya.

Karena menahan mual, aku hanya mengangguk. Sebenarnya ingin sekali memberi tahu kehamilan ini, tapi sepertinya sekarang bukanlah waktu yang tepat.

Satu tahun menikah, Mas Haidar sama sekali tidak pernah membahas masalah anak. Jadi, aku tidak tahu apakah dia menginginkan keturunan dariku atau tidak. Hanya saja, dia pernah menggunakan pengaman. Hal itu sedikit membuatku tersinggung dan bertanya-tanya apakah dia akan senang kalau tahu aku hamil?

"Kata Mas Hafiz kamu belum kirim." Suaranya terdengar lagi. Tanpa menoleh, aku tau dia pasti sedang berdiri di ambang pintu dapur.

Aku menoleh setelah mengembuskan nafas lelah. "Aku kirim ke email Mbak Farah."

Mas Haidar kemudian berlalu sembari mengetik sesuatu di ponselnya. Mungkin dia sedang bertukar pesan dengan Mas Hafiz.

Sebisa mungkin, aku membatasi interaksi dengan ipar. Jadi, aku mengirim laporan kepada Mbak Farah, istri Mas Hafiz. Mereka juga tidak pernah protes. Mas Haidar saja yang sepertinya baru tau kalau memang biasanya aku seperti itu. Ya … bagaimana dia bisa tau kalau yang ada di pikirannya hanya Mita, Mita, dan Mita.

"Sarapannya udah matang." Aku berkata setelah menyusul ke kamar.

Sambil tetap menyisir rambut, dia berkata, "Duluan aja. Aku belum lapar."

Ini bukan kali pertama aku mendapat penolakan. Mas Haidar memang jarang makan di rumah. Kalau aku menyiapkan sarapan, katanya kepagian. Dia bisa sarapan di Lesehan. Makan siang jelas dia pun ada di sana. Waktu malam juga lebih sering seperti itu. Hanya saja, sebagai seorang istri terkadang aku tidak enak jika tidak memasak. Lagi pula, aku pun butuh makan.

Pernikahanku dengan Mas Haidar bukan lantaran dijodohkan. Dia sendiri yang meminta izin hendak meminang ketika aku baru sebulan bekerja di warung makan miliknya.

Sebagai orang yang berasal dari keluarga pas-pasan dan juga pantang berpacaran, aku menerima Mas Haidar ketika keluarganya datang melamar. Sebulan kemudian, akad nikah dilaksanakan. Ya, memang sesingkat itu perjalanan kami. Aku pikir … karena dia juga tidak mau berlama-lama pacaran sehingga langsung ingin menikah.

Sampai detik ini, aku belum tau kenapa Mas Haidar menikahiku. Tidak pernah ada kata cinta yang terlontar dari bibirnya. Tidak pernah ada tatapan penuh damba layaknya pasangan muda pada umumnya. Terkadang aku bertanya-tanya, apakah memang pernikahan seperti ini? Atau … memang Mas Haidar bukan tipe orang yang romantis sehingga tidak semanis laki-laki lain yang kerap mesra terhadap istrinya?

"Aku masih sangat mencintai Mita, Ran. Jadi, aku akan tetap berhubungan baik dengan keluarganya."

Kalimat itu diucapkan Mas Haidar tepat satu minggu setelah kami menikah. Aku berusaha memaklumi. Bahkan aku pernah mengajukan diri untuk ikut ke Batang untuk bersilaturahmi dengan keluarga Mita. Namun, Mas Haidar melarang. Bahkan sampai sekarang pun aku belum pernah diajak ke warung makan yang ada di Batang.

Mas Haidar selalu meminta pengertian agar aku memaklumi bahwa dia belum bisa move on dari mantan kekasihnya. Tadinya, bagiku itu adalah tantangan. Aku bertekad akan menyembuhkan luka di hatinya dan membuat Mas Haidar melupakan Mita. Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa lelah karena segala tentang Mita dijadikan prioritas.

Banyak yang bilang aku beruntung dinikahi Mas Haidar. Tampan, mapan, dan penyayang. Ya, setidaknya itulah pandangan orang-orang. Memang benar, Mas Haidar penyayang. Bahkan saking sayangnya, dia masih sangat menyayangi mantan kekasihnya meski telah tiada.

"Nggak pulang bareng suami, Mbak Ran?" tanya Pak Wawan, petugas keamanan di rumah makan.

"Enggak, Pak. Mas Haidarnya masih sibuk." Aku menjawab seramah mungkin. Walaupun menjadi istri Mas Haidar, tapi aku tidak pernah merasa memiliki warung makan ini.

Setiap hari memang aku ke warung makan setelah pekerjaan rumah selesai. Jadi, memang jarang sekali berangkat bersama Mas Haidar. Pulang pun sendiri karena suamiku itu biasanya akan kembali ke rumah menjelang tengah malam.

Biasanya, aku menggunakan sepeda motor. Namun, karena sedang kurang enak badan dan kehamilan di trimester pertama masih rentan, maka aku memesan taksi online.

Sesampainya di rumah, aku tidak lantas ongkang-ongkang kaki. Ada saja yang perlu dibereskan. Tanpa terasa, hari pun mulai petang. Aku menekan saklar lampu teras, tapi tetap saja lampu-lampunya tidak menyala. Aku menghela nafas. Mungkin ada kabel yang terputus atau lampunya perlu diganti.

Mengabaikan masalah lampu, aku menyiapkan makan malam. Siapa tau Mas Haidar pulang cepat dan bisa kuajak bicara mengenai kehamilan ini.

Mas Haidar pulang p*kul sembilan malam. Sewaktu aku membukakan pintu, dia bertanya, "Kenapa gelap?"

"Lampunya mati, Mas."

"Kenapa nggak diganti?"

"Aku nggak bisa, Mas." Aku berkata pelan. Sedikit bingung kenapa Mas Haidar bisa bertanya seperti itu. Lampu di teras itu tinggi-tinggi. Dan aku tidak tau kenapa bisa mati semua.

"Makanya aku nunggu Mas Haidar," ucapku lagi.

Mas Haidar yang sudah melangkah masuk ke ruang tamu berbalik. "Jangan apa-apa mengandalkan suami. Apa jatah dariku kurang sampa kamu nggak bisa nyuruh orang buat ganti lampu?"

Aku tertegun. Benarkah Mas Haidar yang berkata demikian?

Belum sempat hilang rasa keterkejutan di dalam diriku, Mas Haidar berkata pagi, "Belajar mandiri. Jangan apa-apa bilang sama aku!"

Baiklah. Aku akan mandiri. Dan aku juga tidak akan bilang tentang kehamilan ini. Bukankah seperti itu yang dia mau?

***

Judul: Sebatas Pelarian

Penulis: Julli Nobasa

Baca selengkapnya di KBM App

#cerbung #cerbungkbm #novelonline