Lemon8 Video Downloader

The easiest way to download video and gallery from Lemon8 app

Romantis itu Gak Harus...Bagaimana dengan suamimu?

Romantis itu Gak Harus...Bagaimana dengan suamimu?

Desktop: Right-Click and select "Save link as..." to download.

PHOTOS
Romantis itu Gak Harus...Bagaimana dengan suamimu? JPEG Download

Ayah melakukan pe-le-ce-han terhadap pembantu!

Itulah yang selalu Ara tutupi dari Luna, adiknya. Hingga lelaki itu telah tua renta dan sering sakit-sakitan, ibu pun kembali mengusirnya akibat kelakuannya yang tidak pernah berubah. Ayah terlunta-lunta dan tinggal di ruang yang hanya sepetak, pengap, gelap, dan bersebelahan dengan kuburan. Dalam kesendiriannya, akankah lelaki tua itu bertemu Tuhan atau justru menjadikan ini sebagai sebuah kesempatan untuk kembali bermaksiat?

Alam bawah sadarnya menyeret ia ke penjara dan menyaksikan dirinya sendiri mati. Terbujur kaku dan telah dikafani, dikelilingi oleh banyak orang.

Surat di tahun 1980 menjawab semua pertanyaan.

Bab 9. Jangan Menangis Sayang

“Namanya Ridwan. Kenapa? Suka?”

“Enggak.”

“Benar? Banyak penggemarnya loh dia dan kalau kamu tidak cepat-cepat, bisa keduluan yang lain.”

“Kak Adi apaan sih!”

“Tapi kalau kamu memang suka, saya dukung. Dia baik, pernah menimba ilmu di pesantren, dan sudah dapat pekerjaan belum ya sekarang? Mau ditanyakan?”

“Kak Adi!” Luna melotot.

“Eh, cuma… ada cumanya.”

Luna melipat kening.

“Cuma, kalau memang kamu suka, berarti kamu dan Ara sama. Kamu juga mesti berjuang untuk bisa merebut hati kedua orang tuamu agar mau mempercayakan dirimu kepadanya yang hanya pedagang bakso keliling.”

“Hah?” Mata Luna kian melotot.

Ara yang berdiri tak jauh dari mereka mendengar kalimat singkat Luna ditambah dengan pancaran ekspresi yang tidak biasa membuat perhatiannya tersedot. Ia kemudian menghampiri.

“Kayaknya ada yang seru nih?”

“Jangan cemburu Kak Ara.”

“Ini loh, Luna kepoin Ridwan.”

“Kak Adi apaan sih!” Bibir Luna sekarang monyong.

“Kakak dukung.”

“Tadi juga aku bilang begitu.”

“Ridwan itu sempat jualan bakso loh. Kakak pernah lihat dia di depan kampus. Keren kan? Mahasiswa yang tidak malu akan jati dirinya yang memang hanya sebagai anak tukang bakso.”

“Jadi benaran?”

“Masa kakak bohong sih. Yang jualan memang bapaknya, tapi sebagai anak yang tentunya mesti berbakti, Ridwan jadi turut berjualan juga membantu bapaknya.” Ara sengaja menyenggol siku adiknya. “Cinta memang butuh perjuangan.”

Luna terdiam. Ia mengerti apa yang dimaksud kakak dan calon iparnya itu. Bukankah ayah tidak suka bila kedua putrinya dekat dengan lelaki yang berbeda kasta?

***

“Assalamualaikum.” Adi membuka pintu kamar yang ditempati Ara dan Kalya. Disaksikannya istri dan sang anak tertidur pulas bersama. Adi mendekat dan menatap lekat wajah kedua malaikatnya.

Ara yang menggerakan sedikit tubuhnya kemudian membuka mata perlahan dan terlihat sekali ia masih mengantuk. “Mas.”

Ara duduk dan kini berhadapan dengan suaminya. “Kamu baru pulang?” Ara mengambil ponsel yang diletakan di meja sebelah, memastikan pukul berapa sekarang. “Sudah jam segini?” Ia bertanya pada dirinya sendiri lantaran tidak percaya. Rasanya baru sebentar ia terpejam, kok sudah berlalu berjam-jam ternyata. “Bagaimana ayah?”

Adi menelan liur. Maukah ia menceritakan semuanya di saat tahu persis perasaan Ara yang pasti masih sangat bersedih dan kecewa? Sanggupkah ia menyaksikan istrinya yang sebentar lagi bakal kembali berderai-derai oleh air mata?

“Mas, bagaimana ayah? Sekarang ayah di mana?” Sorot mata Ara meminta kepastian secepatnya dan Adi tak mampu lagi menundanya. Bukankah Ara memang berhak untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi?

Adi mengisahkan perjalanannya bersama ayah guna menemukan tempat bernaung yang aman dan tepat.

Ara membeku mendengarnya. Hatinya tersayat membayangkan ayahnya yang amat dicintai tinggal seorang diri di tempat yang hanya sepetak dan kotor. Ditambah dengan aksesnya yang begitu jauh dan terpencil, sesuai dengan keinginan ibu, menambah beban pikiran Ara. Dan apa tadi Mas Adi bilang? Dekat dengan kuburan?

Ara lalu menutup mulutnya yang mulai terisak. “Mas, ayah itu tidak membawa apa-apa selain pakaian. Tidak membawa tikar atau karpet. Apa di sana ada kasur? Atau ayah tidur di lantai tanpa beralaskan apa-apa?”

“Mas tidak tahu sayang. Saat pemilik kontrakan menawarkan untuk melihat ke dalam, ayah menolak dan meminta kami untuk pulang.”

“Astaghfirullahal’adzim. Kenapa sampai harus seperti ini?”

“Sayang, mas tahu ini berat untuk kita semua. Tapi mas yakin, keputusan yang ibu ambil ini memang baik untuk ayah ke depannya. Lagipula mereka juga butuh waktu untuk mencerna semua kejadian ini. Baik ibu maupun ayah. Mereka perlu sendiri dulu.”

“Tapi sebagai anak, aku tidak tega mas. Apalagi tadi mas bilang kalau lokasinya di perkampungan, sepi penduduk, dan… dekat makam.” Air mata Ara meluruh. “Bangunan yang mas sebutkan tadi juga menurutku,” Ara menarik nafas dalam saking tak kuasanya ia membayangkan bagaimana kesepian dan tersiksa ayahnya berada di tempat semacam itu. “sangat tidak layak.”

“Sayang, mas tahu ini pasti berat untuk kita semua harus menerima, tetapi yakinlah jika apapun yang terjadi tidak terlepas dari kehendak Allah. Apa yang menurut kita buruk, belum tentu buruk di mata Allah dan apa yang menurut kita baik, belum tentu baik di mata Allah, iya kan?”

Bulir air tak hentinya menetes dari kelopak mata Ara. Dengan kedua tangannya, ia menutup wajahnya yang mungkin kini telah sempurna basah. Adi memeluknya erat.

“Sayang percayalah, Allah selalu memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya. Selalu kirimkan doa untuk ayah, mas juga akan senantiasa mendoakan agar ayah kali ini benar-benar berubah dan mau bertobat. Menyadari semua kesalahannya dan mau dengan istiqomah memperbaiki diri di jalan Allah. Bukankah itu yang kita semua inginkan? Doakan juga ayah selalu sehat dan senantiasa dalam penjagaan Allah.”

Ara hanya menggangguk. Adi kemudian merenggangkan pelukannya dan memegang bahu istrinya. Menatap lekat wajah yang masih tertutup itu. “Sudah dong jangan menangis, nanti mas jadi ikut sedih melihat kamu begini terus. Kalya juga bisa-bisa terbangun.” Ara masih belum mau memperlihatkan wajahnya dan ia malah sesenggukan. “Tuh kan, lama-lama menangis sulit berhenti jadinya. Ayo dong sayang, simpan air matamu dan luapkan saat berdoa saja.”

Pelan-pelan Ara menurunkan kedua telapak tangannya dan dengan penuh kasih serta kelembutan, Adi menyeka sisa air mata yang sudah kadung acak-acakan di segala penjuru wajah istrinya.

“Jangan memintaku untuk tersenyum.”

Adi menggeleng lemah. “Tidak sayang. Mas paham bagaimana perasaanmu. Sudah, sekarang kamu istirahat sebelum fajar mulai menyingsing dan kita berdua malah jadi ketinggalan sholat tahajud dan subuh.”

Adi berdiri, lalu mengeluarkan ponsel dari saku celananya. “Masih ada kesempatan tidur satu jam. Nyalakan alarm dulu.”

Seusai menyetel alarm pada alat komunikasi dan menyimpannya di atas meja, Adi menitah, “Tidur. Saat mas kembali, kalau sampai mas masih mendapati istri mas yang cantik ini menangis atau melamun, jangan salahkan jika mas memberikan hukuman nanti.” Adi lalu berjalan ke arah kamar mandi.

“Handuknya di mana?”

“Di sebalik pintu mas.”

Adi masuk dan Ara menuruti perintah suaminya barusan, walau hati masih merasa hancur dan tak mudah untuk membenahinya kembali. Siapalah yang rela membiarkan orang yang amat disayang, hidupnya tersiksa dan menderita? Jika ada yang disebut lorong waktu, ingin rasanya Ara pergi sebentar ke tempat di mana ayahnya berada. Ia hanya ingin memastikan, jika ayahnya itu baik-baik saja.

Tak ingin membuat suaminya kecewa, apalagi ditambah mengingat bila Adilah yang telah menemani ayah semalaman suntuk mencari tempat tinggal dan kini sisa waktu yang ia miliki untuk dapat beristirahat hanya satu jam, Ara pun memaksakan dirinya terpejam.

“Ya Allah, hamba mohon jaga ayah,” Ara menguntai doa dalam hati.

Novel tamat Menjahit Luka

Penulis FauzanAdzima

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah:

https://read.kbm.id/book/detail/68941db5-efa9-f069-acfd-fd75a46218b9

Cirebon #Lemon8Leaderboard #myonething #ApaCumaAku #Bersyukur #PengalamanBuruk #novel #kbmapp #fyp #viral #beranda