Lemon8 Video Downloader

The easiest way to download video and gallery from Lemon8 app

Dinikahi Rival Mantan Suami

Dinikahi Rival Mantan Suami

Desktop: Right-Click and select "Save link as..." to download.

PHOTOS
Dinikahi Rival Mantan Suami JPEG Download

Bab 2 - Petaka Pengantin Wanita

“Diam dan layani aku!”

Tangisanku ternyata hanya lebih membuat hasratnya menjadi tak terbendung. Kenyataan lainnya yang begitu menyiksa adalah, tepat 3 bulan lagi proses sidang perceraian kami akan berlangsung.

Perkataan Mas Ghadi yang sebelumnya menginginkan untuk hidup terpisah dan memintaku untuk tidak mengganggunya selama beberapa bulan ke belakang, menjadi berbanding terbalik, bahkan memperlakukanku layaknya wanita panggilan (PSK), seperti aku bukanlah istrinya.

Menjelang tengah malam dia selalu datang dan memberikan sentuhan yang kasar serta keinginannya sering tidak masuk akal. Kebutuhan biologisnya benar-benar jauh dari kesanggupanku untuk memenuhi hasratnya dalam setiap moment intim yang kami lakukan.

Kalaupun dia tidak mencintaiku, setidaknya cukup memperlakukanku dengan baik. Nyatanya, Mas Ghadi selalu membuat tubuhku mengalami luka memar, lalu menghilang menjelang dini hari dengan meninggalkan sejumlah uang tunai yang sengaja dia letakkan di atas meja.

“Adila! Udah siang masih aja tidur? Pemalas! Bangun, turun ke bawah!” teriak Gina begitu lantang di depan pintu kamar. Mau bagaimana lagi, sebisa mungkin aku menutupi luka memar ini.

“Ya, Kak ... maaf, Dila pikir Kakak dan Mama sudah pergi tadi pagi,” sahutku begitu tergesah saat menuruni anak tangga menuju ruangan makan.

“Astaga Dila ... Mama lihat, penampilannya kampungan sekali. Adila, ganti baju sana!” Gina menghadang dan mendorongku seolah tidak diperkenankan untuk masuk ke dalam ruang makan.

“Tidak usah, Kak ... Adila dengar hari ini akan hujan, jadi cuaca pasti—”

“Halah gak usah banyak alasan! Buka! Kau itu sekarang bagian keluarga ini, jadi ...” Gina seketika terdiam ketika melihat luka memar di beberapa bagian lengan dan pundakku.

“Su-sudah Adila bilang, tidak perlu ganti baju,” balasku sembari memperbaiki kancing kemeja baju yang tadi terbuka paksa oleh Gina.

“Terserah deh ....”

Melihat Kakak iparku berlalu dan berpura-pura tidak tahu, dia acuhkan aku seolah tidak melihat luka yang membengkak ini. Ibu Mertua pun acuh, seolah tidak mendengar dan melihat kejadian yang baru saja Gina lakukan padaku, padahal jelas dia terduduk tak jauh dariku.

Dapat kusimpulkan, sebenarnya mereka tahu bahwa Mas Ghadi sebenarnya memiliki kebiasaan aneh atau penyakit psikologis yang seharusnya memerlukan perawatan, namun tidak dilakukan.

Kenangan yang tidak akan pernah aku lupakan. Merendahkan diri saat terpaksa mengambil secarik cek, melayani layaknya wanita panggilan dan mendapatkan perlakuan tidak pantas, dihina, bersandiwara sebagai kambing hitam keluarga Hamka, harga diri ini sudah pergi entah kemana. Aku memang tidak bisa memilih cinta. Namun, takdir yang memaksa ini, bisakah berpihak padaku?

Tidak boleh ini, lakukan saja itu. Kau harus bisa ini, tolaklah itu. Tak kukira pernikahan ini seketika berubah menjadi petaka, untuk pengantin wanita yang tidak diharapkan sepertiku dalam waktu beberapa bulan saja. Mencoba mengalihkan pikiran, aku memilih untuk bekerja.

“Adila, maaf, sepertinya aku salah bawa pupuk tanaman kemarin. Bisa kau bantu membawanya kembali kemari, biar dapat aku bawa dan ganti?” ucap Pak Loji, seorang distributor khusus perlengkapan tanaman hias.

“Baik Pak, tunggu sebentar ....”

DRRTT! DRRTT! (Suara handphone yang bergetar di atas meja)

“Ya, Ma? Ada apa tiba-tiba Mama menghubungi Dila?”

“Kau datang ke sini sekarang, lokasi sudah dikirim lewat pesan.”

“Ma, tapi Dila lagi di toko bunga dan kebetulan ada pupuk tanaman yang harus di—”

“Jangan banyak alasan! Ke sini sekarang juga.”

“Ha-halo? Halo Ma? Mama?”

Hembusan nafas panjang untuk kesekian kalinya pun kulakukan begitu berat. Melihat lokasi yang Mama kirimkan, lumayan cukup jauh dari toko bunga tempatku bekerja. Jika setelah ini aku pulang dan berganti pakaian terlebih dahulu, sepertinya tidak akan cukup waktu.

Jika penampilanku seperti ini, apa akan baik-baik saja? Mama terus saja mengirimkan pesan padaku untuk segera datang, mau tidak mau aku terpaksa hadir walau aku tahu ia akan marah padaku.

“Dila! Kamu, kalau gak bisa datang, ya, udah jangan! Ini malah bikin malu. Mau gimana nanti menghadapi mereka? Punya Menantu gini banget. Udah mau hampir 1 tahun nikah, masih aja otaknya itu loh, kok, bego!”

“Kasian Mama jadi malu gara-gara kamu, Dila! Bisa-bisanya kamu kuliah, tapi otaknya gak dipakai! Mikir aja telat, sok banget di universitas ternama, udah gitu Jurusan Hukum. Heran, kok kamu bisa lulus di sana? Ma, kenapa tadi gak sama Gina aja sih pergi ke acara amalnya?”

“Sudah diam! Mama lagi pusing, gimana kalau acara hari ini sampai terdengar Papa? Bisa malu kita nanti. Semua gara-gara kamu! Penampilan lusuh, udah gitu bau! Pergi sana!”

Bukan salahku jika mereka terus memaksa. Aku adalah penjual bunga yang harus membiayai hidupku sendiri. Meski uang kuliah serta pengobatan Ayah ditanggung oleh keluarga Hamka, nyatanya mereka tidak memberikan uang lebih sesuai dengan keperluanku.

Ayah mertuaku akhirnya terpilih sebagai wakil rakyat yang duduk di gedung penting negara. Ibu mertuaku mendirikan yayasan sosial, dan Kakak iparku mendirikan salon kecantikan disertai dengan wedding organizer (WO) yang sukses berkembang.

Tidak perlu ditanyakan bagaimana suksesnya Mas Ghadi saat ini, ketika isu buruk tentangnya terkubur, digantikan olehku yang sengaja dijadikan kambing hitam oleh keluarga Hamka. Memilih untuk menenangkan diri, aku pergi menemui seseorang yang begitu penting bagiku.

“Nak, beberapa hari lalu kakimu yang memar, sekarang tangan dan pundak? Apa yang dilakukannya padamu? Bagaimana sebenarnya reaksi keluarga Hamka padamu? Dila, jujurlah pada Bude, apa yang sebenarnya terjadi?”

Aku terdiam tak dapat menjawabnya, terlebih dengan tatapannya yang sendu ke arahku. Bude Ningsih adalah orang tua angkat sekaligus seorang Perawat yang membesarkanku sejak kecil, ketika Ibu terpaksa pergi untuk selamanya karena sebuah kecelakaan maut.

Bude, Ibu, Ayah, serta Pakde, sudah bersahabat sejak dulu lalu mencoba mengadu nasib dengan pergi ke kota bersama-sama sejak usia muda.

Ibu dan Bude sukses menjadi Perawat, sedangkan Ayah dan Pakde menjadi Satpam, atau petugas keamanan yang disewa oleh berbagai perusahaan atau pribadi, seperti yang Ayah lakukan dikediaman keluarga Hamka selama 15 tahun lamanya.

“Ti-tidak ada, Bude ... tubuhku saja yang terlalu kurus jadi gampang memar. Mereka baik Bude, sungguh ... percaya sama Dila. Memar ini gara-gara Dila jatuh di kamar mandi,” ucapku tak berani menatap matanya karena takut kebohongan ini terbongkar.

“Dila, tatap mata Bude. Jujurlah, apa Ghadi memperlakukanmu begitu kasar? Kamu pikir, bisa berbohong sama Bude?” sanggah Bude sembari menarik tanganku agar menatapnya.

“Ti-tidak Bude ... Mas Ghadi, sangat ... baik.”

Bude yang merasa kesal pun berpaling, memutuskan untuk merapikan beberapa lembar dokumen pasien sembari memutar lagu kegemarannya. Bagaimana bisa aku jujur padanya, di saat Pakde baru saja meninggal tiga bulan yang lalu dan membuatnya khawatir padaku.

Mendekati usia pensiun, Bude mendirikan sebuah klinik rumah terapi yang diberi nama PM (ProMedical), adalah rumah singgah yang selalu membuatku merasa nyaman. Tempat yang dirancang khusus menyediakan fasilitas dan dukungan bagi yang membutuhkan perawatan fisik maupun mental, serta sebuah apotek dengan obat-obat yang terbilang cukup lengkap ini, ternyata hasil dari tabungan Bude dan Ibu semasa hidupnya.

BRAAKK!

“Jadi, kau masih belum cerita bagaimana buruknya kebiasaan suamimu itu? Haruskah kami yang menceritakannya ke Bude?”

Bersambung ~

Judul: Dinikahi Rival Mantan Suami

Penulis: Fidia K.R

Platform: KBM

#mantan