Lemon8 Video Downloader

The easiest way to download video and gallery from Lemon8 app

Aku kaget melihat teman putrik | Galeri diposting oleh Yulia_Cahya | Lemon8

Aku kaget melihat teman putrik | Galeri diposting oleh Yulia_Cahya | Lemon8

Desktop: Right-Click and select "Save link as..." to download.

PHOTOS
Aku kaget melihat teman putrik | Galeri diposting oleh Yulia_Cahya | Lemon8 JPEG Download

Aku kaget melihat teman putriku keluar dari mobil suamiku. Dia jalan ngang kang dan wajahnya terlihat sangat lelah. Apa yang dia lakukan di dalam mobil itu? Jangan-jangan dia … 

Pe. T4 k a Daun Muda (Part 5)

“Secara f1sik, putr1 bapak dan ibu telah pulih,  tapi secara ps1kis, masih banyak yang harus disembuhkan. Butuh waktu dan dukungan semua orang yang ada di dekatnya. Satu hal yang paling penting, seseorang yang pernah berupaya b* nuh d1r1, maka besar r3sik0nya akan mengulanginya lagi. Jadi, Bapak dan Ibu sudah selayaknya untuk lebih memperhatikan yang bersangkutan.“ 

Ucapan dokter tadi sebelum Liana kami bawa pulang ke rumah kembali terngiang. Satu bulan lamanya Liana dirawat di rumah s4kit, hingga akhirnya hari ini ia diperbolehkan pulang oleh dokter. 

“Mau mampir kemana dulu nih?” Mas Irwan membuka obrolan. 

Sejak mobil ini bergerak, tidak ada satupun yang bicara diantara kami. Mas Irwan sibuk menyetir mobil, aku sedari tadi bermain dengan pikiranku sendiri, sedang Liana, ia tampak asik melihat pemandangan di luar. 

Tak bisa dipungkiri, Liana memang berubah. Ia menjadi lebih pendiam. Sejak sadar dari komanya, ia tak mau bicara dengan Mas Irwan sama sekali, hanya denganku saja ia mau bicara, itu pun hanya  sesekali saja.

“Hmm …  gimana kalau kita ke Bumi Resto? Sudah lama ‘kan kita nggak kesana?” Aku menyahut setelah beberapa saat tak ada respon dari Liana.

Mengalah. Itu yang aku lakukan saat ini. Jika menuruti rasa, inginnya aku diam dan tak menanggapi Mas Irwan. Rasa m4r4h, k3cew4, juga curig4 masih begitu besar di hati ini. Tapi jika aku menuruti perasaan itu, maka Liana yang akan menjadi k0rb4nnya.

Hubungan tak baik antara aku dan papanya akan semakin membuat Liana tertekan. Dan itu tak baik untuk kesembuhan ps1k1snya.

“Betul, kayaknya kesana pagi begini seru juga.” Mas Irwan tampak antusias. 

“Kita kesana dulu ya, Nak? Gimana, mau?” tanyaku pada Liana. 

“Terserah, Mama aja,“ jawabnya.

“Oke, kita kesana, Pa,” ujarku pura-pura semangat. 

Tak ada satupun w4nit4 yang akan tetap baik-baik saja saat mengetahui suaminya bermain cur4n9, meski belum ada bukti sekalipun. 

Mas Irwan terus meyakinkan aku bahwa ia masih menjaga kes3tia4nnya dengan baik. Setiap hari ia meminta maaf, bahkan berani bersump4h jika dirinya tak bermain cur4n9 di belakangku. 

Jelas aku tak percaya, tapi sekali lagi, demi Liana, aku memilih berdamai dengan Mas Irwan. Biarlah waktu yang akan menjawab. Aku yakin, jika ia memang bermain cur4n9, suatu hari nanti pasti akan terbongk4r juga kecur4n9annya itu. Bukankah sepandai-pandainya menyimpan b4n9kai, pasti akan terc1um juga b4u b*sukny4? 

Liana butuh orang tu4 yang harmonis untuk meng0bati ps1kisnya. Dan aku akan memberikannya. Aku rela meng0rbankan peras4anku demi sembuhnya putr1 semata wayangku.

“Kita sudah sampai, S4yang,” ujar Mas Irwan. 

Ia menoleh pada Liana yang duduk di kursi belakang, tapi begitu Mas Irwan menoleh, Liana yang semula menatap ke depan, justru memalingkan muka, melihat keluar dan bersiap turun dari mobil. 

Mas Irwan menghela nafas panjang, ia tampak kec3w4 dengan sikap Liana. 

“Sabar, Pa. Liana butuh suport kita. Dia hanya butuh waktu, nanti juga m4r4hnya akan hilang dengan berjalannya waktu,” ujarku.

“Iya, Ma. Selagi ada kamu yang terus dampingi, aku pasti sabar,” jawab Mas Irwan.

Dulu, kalimat-kalimatnya yang r0m4ntis itu selalu bisa membuatku mel4yang, membuatku merasa menjadi wanita yang paling dicint4i, juga paling b3runtun9. Tapi untuk saat ini, setelah apa yang terjadi, tentu aku tak akan semudah itu percaya lagi.

Sebelumnya, kerap kukatakan pada Mas Irwan bahwa kepercayaan itu ibarat sebuah kertas. Ketika sudah r0bek, maka dengan upaya apapun tak akan pernah bisa kembali utuh seperti sedia kala. Sepertinya perkataan ku itu tak ada artinya apapun untuknya.

Aku memilih menyusul Liana turun dari mobil, tak ingin terlalu menanggapi perkataan Mas Irwan.

Liana berjalan tanpa menoleh padaku, sepertinya ia menuju ke salah satu gazebo yang letaknya paling ujung, dekat dengan alir4n sung4i. Rumah makan ini memang terkenal dengan panoramanya, dimana di salah satu sudutnya, terdapat sebuah sungai dengan aliran yang cukup deras.

Aku mencoba menyusul langkah kaki Liana, tapi ternyata sulit. Meski terlihat berjalan dengan santai, ternyata langkah kaki Liana cukup cepat juga.

“Li ….” Aku hendak memanggil putriku, tapi suaraku tercekat di tenggorokan saat menyadari ada sesuatu yang tak beres dengan Liana.

Ia terus berjalan melewati gazebo yang kukira akan menjadi tempat tujuannya. Liana mau kemana? Tunggu, ia berjalan menuju ke arah sung4i. Ya All4h, ada apalagi dengan Liana, apa mungkin ia ingin melakukan hal itu lagi.

Tidak. Aku tak akan membiarkan. Segera saja aku berlari menyusul Liana. Tak peduli beberapa pengunjung menoleh karena aku berlari dengan menimbulkan suara yang cukup keras.

“Liana!” teri4kku.

Kut4rik lengan Liana sebelum ia semakin dekat dengan sungai. Aku takut ia nek4t t3rjun ke dalam sungai.

Begitu berhasil men4rik lengannya, langsung saja aku p3luk g4d1s itu. Aku sangat t4kut k3hilangan dia. Hanya Liana yang aku punya saat ini.

Kukira, Liana akan ber0nt4k atau men4n9is, tapi ternyata aku salah. Saat aku melepaskan p3luk4n, dia justru terlihat seperti sedang bingung.

“Mama, kenapa?” tanyanya.

“Mama t4kut kamu t3rjun ke sana,” ujarku sambil menunjuk ke arah sungai.

“Ya ampun! Nggak lah, Ma. Liana masih w4r4s. Liana tahu apa yang Liana lakukan kemarin salah. Mama nggak usah khawatir. Liana nggak akan b* nuh d1ri1 lagi kok,” kata Liana tanpa beban.

Mendengar perkataannya justru air mataku berlinang. Aku semakin t4kut kehilangannya. Kalimatnya itu terdengar seperti sebuah 4nc4man bagiku.

“Ada apa, Ma? Liana kenapa?” Suara Mas Irwan menghentikan t4ngis4nku.

“Hmm … tidak apa-apa, Mas. Kami hanya sedang memilih tempat makan untuk kita,” jawabku, buru-buru menghapus 4ir m4ta sebelum ketahuan Mas Irwan, tak mau memperpanjang urusan.

“Kita kesana aja. Ayo!” ajak Mas Irwan.

Aku dan Liana melangkah beriringan di belakang Mas Irwan, menuju gazebo yang tadi ditunjuk olehnya.

Sambil menunggu pesanan kami datang, Mas Irwan terus menatap Liana. Ia seperti sedang merangkai kata untuk kembali mengambil h4ti 4n4k g4d1s kami.

Meski aku pun belum bisa kembali percaya dengan Mas Irwan, tapi aku tak mau hubungan Liana dengan papanya itu terus renggang seperti ini. Aku berharap keduanya dapat akur kembali.

“Papa punya kabar baik untuk kalian berdua.” Mas Irwan berkata dengan wajah sumringah.

Mendengar ucapan Mas Irwan itu, aku dan Liana menoleh padanya. Penasaran juga dengan berita baik yang ingin disampaikan olehnya.

“Kalian nggak ingin tahu?” tanya Mas Irwan kemudian.

Aku mengedikkan bahu, sementara Liana tampak berkedip-kedip matanya, tapi juga tak menjawab pertanyaan papanya.

“Papa naik j4b4tan.” Mas Irwan berkata dengan senyum lebar.

“Alhamdulillah,” ujarku spontan.

Selama ini Mas Irwan memang memiliki etos k3rja yang sangat tinggi. Tentang itu, aku sama sekali tidak ragu. Ia bahkan rela k3rja l3mbur demi untuk menyelesaikan pekerjaannya secara paripurna. Wajar jika pada akhirnya ia naik j4b4tan, dan aku turut bahagia untuk hal ini.

“Papa bukan hanya dapat kenaikan g4j1 saja, tapi Papa juga dapat b0nus berupa m0bil baru,” tukas Mas Irwan lagi.

“Alhamdulill4h,” lagi ku ucap sy*kur atas rizk1 yang berlimpah ini.

Saat melirik Liana dengan ekor m4ta, kulihat ia pun juga tersenyum, sangat tipis, hampir tak terlihat. Senyumnya itu cukup membuat hati ini berbunga.

Tiba-tiba p3rutku terasa tidak nyaman, ada sesuatu yang harus aku tuntaskan di t0ilet. Tak mau membuang waktu, segera saja aku berpamitan pada Liana dan Mas Irwan untuk pergi ke t0ilet sebentar.

“Nak, Mama ke t0ilet dulu ya,” ujarku.

Liana mengangguk, sementara Mas Irwan m3l3mp4r senyum, tanda bahwa ia maklum.

Sekitar lima belas menit aku menghabiskan waktu  di dalam t0ilet. Saat akan kembali ke gazeb0 dimana Mas Irwan dan Liana berada, langkah kakiku terhenti. Aku mendengar Mas Irwan bicara dengan Liana.

“Papa minta, lupakan semua! Anggap kamu tak pernah melihat peristiwa itu, Nak. Sebagai gantinya, Papa akan penuhi permintaanmu.”

***********

Wah, Irwan mulai main s0g0k ne?

Kisah selengkapnya di KBM app.

J*dul: P3t4ka Daun Mud4

Penul1s: Yulia_Cahya

Lanjut baca disana yuk, Kak…

Aplik4si KBM dapat di d0wnl04d di Pl4ystore.

Atau bisa juga dengan klik link di bawah:

https://read.kbm.id/book/detail/cbc21a3e-9dc4-47bc-b4df-751d32da9fbe?af=f110644c-da6b-e642-8c5e-759db145ddfc