Tải Video Lemon8

Cách dễ nhất để tải video Lemon8 và tải ảnh từ ứng dụng Lemon8

Ayah melakukan pe-le-ce-han te | Galeri diposting oleh Gudang Cerita | Lemon8

Ayah melakukan pe-le-ce-han te | Galeri diposting oleh Gudang Cerita | Lemon8

Máy tính: Nhấp chuột phải và chọn "Save link as..." để tải xuống.

PHOTOS
Ayah melakukan pe-le-ce-han te | Galeri diposting oleh Gudang Cerita | Lemon8 JPEG Tải xuống

Ayah melakukan pe-le-ce-han terhadap pembantu!

Itulah yang selalu Ara tutupi dari Luna, adiknya. Hingga lelaki itu telah tua renta dan sering sakit-sakitan, ibu pun kembali mengusirnya akibat kelakuannya yang tidak pernah berubah. Ayah terlunta-lunta dan tinggal di ruang yang hanya sepetak, pengap, gelap, dan bersebelahan dengan kuburan. Dalam kesendiriannya, akankah lelaki tua itu bertemu Tuhan atau justru menjadikan ini sebagai sebuah kesempatan untuk kembali bermaksiat?

Alam bawah sadarnya menyeret ia ke penjara dan menyaksikan dirinya sendiri mati. Terbujur kaku dan telah dikafani, dikelilingi oleh banyak orang.

Surat di tahun 1980 menjawab semua pertanyaan.

Bab 5. Bapak Meninggal Sebabmu

Adi melajukan kendaraannya melintasi pusat kota. Pergantian hari yang tak bisa dihindari membuat orang-orang lelap dalam lelah dan nyaring di alam mimpi. Tak satupun rumah-rumah kontrakan maupun kos-kosan yang membukakan pintunya lebar-lebar. Akan tetapi Adi tak mungkin membiarkan dirinya sendiri berpacu terus dengan waktu di malam gulita begini, apalagi mengingat besoknya ia mesti memimpin rapat di kantor. Walaupun ia kini abai sejenak terhadap anak dan istrinya demi kepentingan sang mertua lelaki, akan tetapi ia tetap tak bisa menghindari rasa kantuk yang kian menggelayuti matanya. Rasanya ingin sekali cepat rebah dan terpejam, meski hanya satu atau dua jam.

Adi mengerjap-ngerjapkan mata dan ia memilih berhenti tepat di depan salah satu rumah berpagar yang terpasang spanduk di situ bertuliskan ‘DIKONTRAKAN’. Adi lalu turun dan melongokan kepalanya melalui celah pagar. Tangannya yang memegang pagar tanpa sengaja mendorong. Terbukalah pagar besi itu, lalu Adi masuk. Ia kemudian melangkah menghampiri salah satu bagian rumah yang berada tepat di dekat pagar. Nampak olehnya terdapat satu rumah lain di bagian belakang.

Ia mencari-cari di mana letak bel ditaruh oleh sang pemilik rumah, namun tak menemukan. Adi terpaksa mengetuk pintu rumah itu, walau ia tahu di jam segini pastilah penghuninya sedang tertidur pulas.

Melalui gorden yang mungkin berwarna polos di jendela, Adi dapat mengetahui jika lampu di dalam mulai menyala dan tak lama sang pemilik pun ke luar.

Seorang ibu paruh baya menyambut dalam balutan mukena berwarna putih dengan corak bunga-bunga. “Ya.”

Adi tersenyum kikuk lantaran merasa takut kedatangannya itu menganggu, akan tetapi hatinya sedikit lega, karena ini artinya sang pemilik rumah sedang tidak dalam beristirahat. Ia terjaga.

“Assalamualaikum bu.”

“Waalaikumussalam.”

“Maaf mengganggu, apakah di sini ada rumah yang dikontrakan? Soalnya saya melihat ada spanduknya di depan.” Adi menunjuk ke arah pagar.

“Iya, tapi kontrakannya sudah diisi.”

“Oh, begitu.” Adi tersenyum kecut. “Kalau sudah diisi, kenapa masih pasang spanduk,” ia menggumam. “Baik kalau begitu, terima kasih bu, Assalamualaikum.”

“Waalaikumussalam.”

Adi kembali menuju kereta besinya yang terparkir, lalu memberitahukan hal itu kepada ayah. Mobil pun melaju lagi ke lain arah.

Sepertinya akan sulit mencari kontrakan yang letaknya berada dekat dengan pertokoan atau pusat perbelanjaan, karena mungkin saja sudah banyak yang terisi oleh para pekerja. Adi membelokan kemudinya dan mengarahkan kendaraannya itu menjauh dari pusat kota. Ia memilih memasuki jalan-jalan sempit di wilayah pinggiran kota.

Ayah memajukan punggungnya dan memperhatikan serius ke depan, lalu menoleh ke kiri dan memandang ke luar jendela. Sepanjang jalan hanya ditumbuhi pohon-pohon rindang sejajar yang berjarak hampir sama. Perasaan ayah mulai gelisah. Mau dibawa ke mana ia oleh menantunya?

“Di, ini kita mau ke mana? Kenapa tidak di area dekat perpustakaan umum saja. Bukannya di sana banyak kos-kosan dan kontrakan ya?”

“Memang banyak yah, tapi di sana kan wilayah kampus. Banyak perguruan tinggi berdiri. Pasti banyak juga mahasiswa dari luar daerah atau bahkan yang domisilinya di perbatasan memilih untuk indekos dan mengontrak beramai-ramai dengan teman-teman sekampusnya.”

Ayah terdiam sesaat, lalu menghela nafas. Tubuhnya kembali bersandar dan dalam benaknya berkecamuk pemikiran-pemikiran negative yang pelan-pelan menggerogoti batinnya. Apakah Adi juga menanam rasa benci padaku dan memanfaatkan kejadian ini untuk membalaskan rasa sakit hatinya yang dulu sering aku torehkan padanya? Ayah menoleh pelan pada menantunya.

Adi memilih bungkam sepanjang jalan, jika tidak ada pertanyaan atau topik pembicaraan yang dilontarkan oleh mertuanya itu. Ia tahu, tak ada gunanya membahas hal yang baru saja terjadi di kediaman mertuanya.

Peristiwa seperti itu sudah sering pecah, walau tak sampai terjadi pengusiran yang benar-benar terlaksana. Adi paham betul bagaimana karakter mertua lelaki yang kini duduk di sampingnya dan lebih banyak diam saat ini. Selalu merasa benar dan keras kepala. Lantas apa yang mesti dilakukan untuk meladeni lelaki tua atau sedikitnya untuk menghargai keberadaannya yang bukan semacam patung atau kembaran tembok yang tak bernyawa, selain hanya turut diam dan membisu saja? Daripada bicara, tetapi dianggap salah. Daripada bicara dan tak diladeni. Biarlah ayah membeku seperti itu. Setidaknya, mungkin ia butuh waktu untuk mencerna semua kejadian yang telah lalu.

“Semoga kali ini ayah mau memahami dan menyadarinya,” Adi bicara dalam hatinya, kemudian melihat ayah dalam beberapa detik.

Ayah memang selalu seperti itu. Selepas ketahuan melakukan kesalahan besar dan membuat ibu naik pitam hingga tak pelak mengeluarkan kata-kata kasar, bahkan nama-nama yang tak sepantasnya ditujukan kepada sang suamipun terlisankan, wajah yang awalnya terpampang mengeras, lantaran merasa tidak bersalah dan tak patut dipersalahkan pelan-pelan meluntur dan berubah memelas. Sama seperti sekarang. Ayah menunduk dan nampak sedih sekali. Tetapi Adi tak boleh lepas kendali. Bukankah aib yang dilakukan ayah sudah sering terjadi? Dan menurut pengakuan istri tercintanya, ayah memang sejak dulu sudah beberapa kali kepergok main serong dengan pembantu di rumahnya sendiri.

“Tidak sepantasnya ayah menodai cinta yang ibu berikan untuk kesekian kalinya. Lagipula ayah sudah tua renta, reot. Apa yang ayah cari sesungguhnya? Ayah sholat? Ya! Ayah mengaji? Ya, walau sesekali dan itupun hanya beberapa ayat saja bisa terhitung jari. Bukankah ayah juga mengerti betul tentang agama? Beliau ini pensiunan dari kantor urusan agama!” Adi masih saja bermain dengan pikiran-pikirannya sendiri.

Ayah yang kini merasa tenang, karena mobil yang mereka kendarai mulai memasuki wilayah perumahan kembali bertanya sambil memperhatikan sekitar. Walau masih berselimut malam pekat, tetapi adanya lampu jalanan cukup membantu penglihatan mereka yang tetapi setia mencari tempat bernaung.

“Di sini sudah banyak dibangun perumahan ya? Area pesawahan kan ini tadinya?”

“Iya yah. Tempat mana lagi di kota yang semakin padat penduduknya ini yang masih menyisakan sedikit saja rongga bagi pepohonan atau tumbuhan agar bisa berdiri dan subur, menghasilkan banyak oksigen untuk kita, manusia yang katanya sangat memerlukan dan bisa mati tanpanya? Semua sudah berubah yah. Dari zaman ke zaman, dari generasi ke generasi, dan dari waktu ke waktu. Bukankah kita semua juga berubah? Dari yang awalnya tiada menjadi ada. Dari saat Tuhan masih merencanakan kita untuk ada, lalu menciptakan, kita berada dalam rahim, kemudian Allah meniupkan ruh setelah mengadakan perjanjian bersama kita, lalu kita lahir, menjadi bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, menua dan seperti kembali lagi menjadi kanak-kanak, bayi. Ada yang memakai tongkat, sebab sudah tak kuat menopang tubuhnya sendiri, ada yang disuapi karena sudah sakit-sakitan, bahkan terbaring lemah tak berdaya di atas kasur. Tak bisa berjalan, persis seperti bayi merah. Kemudian apa? Kembali kepada yang menciptakan? Bukan begitu yah?” Adi menatap ayah. Ia tak tega bila harus mengatakan apa sebenarnya kalimat yang ingin disampaikan.

Jujur saja, lelaki tua itu mengingatkan kepada almarhum bapaknya yang sudah tiada beberapa tahun silam. Ayah mertuanya benar-benar seusia dengan almarhum bapak. Akan tetapi sifatnya sungguh jauh berbeda dan tentu saja nasibnya pun tak sama.

“Andai dulu bapak tidak mendidikku dengan baik dan mengajarkan bagaimana caranya menghargai orang lain, mungkin aku sudah melabrak dengan kata-kata yang amat pedas kepadamu yah. Tetapi tidak. Aku adalah manusia yang pada akhirnya harus pula berpulang menemui Sang Pencipta dan mempertanggungjawabkan semuanya. Itulah juga yang bapak khawatirkan terhadapku sehari sebelum ia meninggal dunia,” Adi menggeram.

Masih jelas dalam ingatannya tentang peristiwa memilukan itu. Bapak ditabrak mobil yang katanya pengemudi, ia menyaksikan bapak mengayuh becak di jalur yang sama, namun tiba-tiba menikung begitu saja tanpa memastikan keadaan di belakangnya dan kejadian itu cepat sekali.

Lelaki tiga puluhan itu terkejut dan mengerem saat itu juga. Kepalanya membentur setir, tetapi tidak parah. Ia turun tanpa menghiraukan keadaannya sendiri yang sedang syok berat ditambah dengan kepalanya yang berdenyut. Lelaki itu bergeming dan segera mengambil tindakan dengan membalikan bapak yang jatuh telungkup berurai darah segar dari kening dan hidungnya.

Adi yang atas ijin Tuhan berada pada tempat yang sama dan sedang berjalan kaki sepulang dari kantor, tempat di mana ia mengais rejeki pertama kali amatlah penasaran dengan kerumunan orang-orang yang berjarak di depan tak jauh darinya. Ia mendekat dan mendengar informasi secara simpang siur dari beberapa orang yang tengah berdesak-desakan melihat itu. Adi semakin penasaran, karena yang mereka bicarakan adalah sesosok tubuh tukang becak. Adi berusaha menyelinap di barisan rapat para penonton, sampai akhirnya ia bisa menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri.

Terkejut dan nyaris jatuh. Adi memeluk raga sang bapak dan berteriak histeris. Ia tenggelam ke hari sebelumnya.

“Adi, bapak tidak menginginkan apapun darimu, kecuali satu.” Bapak mulai berpesan kepada putranya saat mereka sama-sama menikmati senja di teras rumah dekat becak yang terparkir.

Dahi Adi berkerut.

“Kamu harus bahagia.” Bapak menatap penuh anaknya itu. “Dan kamu tahu letak kebahagiaan yang sesungguhnya? Ialah di sini.” Bapak memegang dada putranya. “Di kedalaman hati yang lapang dan tanpa sepercik kebencian.”

Andai Adi tak diajarkan untuk menjadi bijaksana, mungkin Adi sudah menghantamkan pukulan tepat di wajah atau mungkin juga di sekujur tubuh lelaki yang pantas disebut pembunuh itu. Tetapi tidak. Sambil terisak, setelah menaruh dua jemarinya beberapa senti pada hidung bapak, kemudian memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan, Adi menunduk, air matanya kian meleleh deras, dan dari bibir terlisankan kalimat istirja, ia lalu meminta penjelasan dari mulut lelaki yang berani bertanggung jawab itu. Ditambah kesaksian dari beberapa orang di sekitar pun menyampaikan, bahwa becak yang dikendarai bapak juga sempat oleng. Seperti tuannya tengah melamun memikirkan sesuatu dan hilang fokus pada jalanan di depannya.

Adi dengan begitu lapang dada melepaskan lelaki yang sebetulnya secara waras dalam pemikiran kebanyakan orang harusnya bertanggungjawab penuh atas tindakan merugikan, bahkan menghilangkan nyawa itu.

“Apakah benar bapak melamun saat mengayuh becaknya? Ini semua pasti karena ulah ayah Ara kemarin,” Adi membenak dalam beku.

Novel tamat Menjahit Luka

Penulis FauzanAdzima

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah:

https://read.kbm.id/book/detail/68941db5-efa9-f069-acfd-fd75a46218b9

Cirebon #kbmapp #kbmauthor #novel #novelrekomendasi #novels #cerita #CeritaReligiku #ceritaku #CeritaRumah #ceritahidup